Lucid

54 11 3
                                    

Tangan penuh keriput dengan buku-buku jari yang menonjol mengusap pelan dahi seorang lelaki kecil yang tertidur lelap. Malam itu bulan bersinar cukup cerah, menembus kaca jendela dan membuat wajah anak lelaki itu tampak bercahaya.

Di balik surai putih sang nenek, sepasang mata tua menatap wajah cucu kesayangannya itu dengan tulus. "Ah, Aidan," bisiknya, tersenyum simpul.

Aidan bukan anak yang bisa dikatakan beruntung. Kehilangan kedua orang tuanya di malam yang sama, kini menjalani masa sekolah dasarnya dengan penuh tangis tak hanya karena hilangnya kasih sayang dan perhatian orang tuanya, dan hanya wanita tua renta itu yang bisa merawatnya.

Namun, akhir-akhir ini anak itu sering kali tertawa setelah bangun tidur.

Tiap kali neneknya bertanya, anak itu hanya menjawab, "Lucid datang lagi, aku senang sekali tiap kali dia tiba di mimpiku." Kadang kala anak itu bercerita panjang, menjelaskan komidi putar yang ia naiki menembus awan, merasakan manisnya permen karamel yang menetes dari pepohonan.

"Mimpimu indah sekali, ya?" tanya nenek suatu waktu.

"Ya!" Anak itu terkekeh. "Lucid bilang, ia bisa memperlihatkan lebih banyak hal jika aku berjanj padanya."

Kerutan di dahi sang nenek terpahat makin dalam. "Janji?"

Belum sempat anak itu menjelaskan, klakson bus sekolah sudah terdengar dan Aidan melesat pergi.

"Semoga Lucid bisa terus membuatmu bahagia," bisik nenek itu, menatap wajah cucunya yang tertidur pulas dengan damai.

Namun tiba-tiba, bola mata anak itu mulai bergerak tak terkontrol. Kedua tangan anak itu mengepal selimut dengan erat-terlalu erat.

"Aidan-?"

Panas menjalar dari dahi anak itu, sampai-sampai sang nenek harus melepaskan tangannya. Seperti terbakar.

Aidan yang masih memejam matanya membuka mulut, menarik napas pendek-pendek. Spontan sang nenek beranjak, hendak mengambil seember air dan kain.

Namun terlambat, kepala anak tak berdosa itu meledak, menyisakan tubuh yang terbujur kaku dan pecahan kepala serta percikan darah ke tiap sisi ruang tidur Aidan.

Itu kasus pertama dari Lucid.

Tiga minggu berlalu, 16 orang sudah dikabarkan meninggal dalam keadaan tak berkepala ketika tertidur. Para peneliti sudah mencari beberapa orang yang memiliki karakteristik sama: selama kurang lebih satu minggu mengalami lucid dream atau bunga tidur dan bertemu dengan sosok Lucid di dalamnya.

Mereka berhasil menemukan 4 orang, kemudian mengumpulkannya dalam satu ruangan di sebuah pusat penelitian di tengah kota.

Mereka semua memimpikan Lucid.

Penelitian tentang bunga tidur ini sudah berkali-kali dilakukan sebelumnya, dari tahun ke tahun. Sebuah mimpi unik di mana sosok yang bermimpi sadar akan mimpinya sendiri, dapat mengontrol segalanya, bahkan menjadi tempat pelarian dari sang pemimpi.

Malam ini merupakan malam ketiga mereka dikumpulkan. Seluruh "subjek penelitian" sudah tertidur di atas kasur beroda layaknya kasur rumah sakit dengan kabel-kabel EEG menempel di kepala untuk mengecek aktivitas otak.

"Dengan ini, kita bisa berkomunikasi," ucap salah satu peneliti dengan jas putih yang berdiri di antara kasur para pemimpi. "Seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya, gerakan wajahnya yang seperti ini," mata kanannya berkedut, "berarti ya, dan yang seperti ini," mata kirinya berkedut, "berarti tidak."

Peneliti yang menyimak penyampaian seniornya hanya mengangguk kecil, terlalu mengantuk untuk menanggapi. "Aku akan-hoam-menunggu di kursi sana, mohon lanjutkan sesi pertanyaan. Saya akan mengamati terlebih dahulu."

Sang senior, mendecak kesal, memulai pertanyaan tanpa sang junior.

"Jacob, kau bisa mendengar suaraku?"

Mata kanan berkedut.

"Kau sudah bertemu dengannya?"

Mata kiri berkedut.

"Apakah kau di tempat yang sama seperti kemarin?"

Hening sejenak.

Mata kiri berkedut.

"Tempat baru?"

Mata kanan berkedut.

"Apakah kau bisa membuat Lucid datang kepadamu?"

Hening.

Mata kanan berkedut.

"Baik, aku akan kembali sebentar lagi."

Sang peneliti berjalan menuju kasur sebelahnya.

"Vanessa, kau bisa mendengar suaraku?"

Mata kanan berkedut.

"Kau sudah bertemu dengannya?"

Mata kanan berkedut.

"Apakah kau bersamanya saat ini?"

Mata kiri berkedut.

"Apakah kau bisa memanggilnya seperti kemarin?"

Mata kiri berkedut. Sang peneliti menelengkan kepalanya, heran. "Baik, aku akan segera kembali kepadamu."

"Levi, kau--"

Kedua matanya berkedut. Darurat.

"Apakah kondisinya, uh, berbahaya saat ini?"

Mata kanannya berkedut.

"Adakah yang bisa kubantu saat ini?"

Mata kiri berkedut.

"... Baik, aku akan segera kembali. Dorothy, kau--"

Suara tarikan napas yang dalam nan kasar terdengar. Sang peneliti menoleh panik ke arah sumber suara, Levi sudah terduduk di atas kasur.

"Jangan!" Lelaki dengan mata yang merah itu menggapai bahu sang peneliti, mencengkeramnya. "Jangan panggil dia di waktu yang bersamaan, dia sadar--"

Suara sesuatu yang terjatuh ke lantai terdengar. Sang junior, yang ternyata telat tertidur di kursi tadi, kini kejang dengan mata tertutup. "Wallace!" teriak sang senior.

Belum sempat ia mendekat, kepala sang junior meledak, melontarkan serpihan-serpihan otak dan tengkorak ke tiap penjuru ruangan.

Kemudian kepala Jacob, meletus layaknya balon air

Kepala Vanessa meledak, menciptakan suara keras, diikuti ledakan kepala Dorothy.

Sang senior ternganga. "M-maafkan saya--"

Kepala Levi meletup sebelum sang senior menyelesaikan perkataannya.

---

HALOOOO, AKU PRIBADI SUKA BANGET IDE YANG SATU INI WALAU MELENCENG JAUH DSRI TEMA YANG KUTENTUKAN SENDIRI BUAT KUMCERNYA HEHE. Cuma eksekusinya memang masih kurang sih, aku dikejar waktu hehe :'>

Mungkin sudah ketebak, tapi tema kali ini adalah: Lucid Dream!

Hehe, Lucid yang menghampiri bunga mimpi ternyata menjual janji pada tiap orang yang ia temui, dengan ganjaran berupa ...

...

... dan sepertinya dia sadar, dia tidak suka diteliti >~<

Semoga hari kalian menyenangkan~

Pola Laju Masa LaluWhere stories live. Discover now