Cokelat Ibu

2 2 0
                                    

"Semua cokelat-cokelatmu!"

Istrinya tidak akan marah. Ya, istrinya tidak akan marah melihat anak satu-satunya telah menghabiskan bank cokelat milik istrinya, alias sang ibu, yang sudah mengumpulkan cokelat-cokelat itu selama berbulan-bulan.

Ia tidak sepenuhnya ingat, tetapi sepertinya ada beberapa cokelat yang diberikan oleh teman-temannya setelah pulang dari luar negeri. Pria itu kini hanya bisa berharap istrinya telah menghabiskan semua cokelat-cokelat itu karena tidak mungkin benda itu tiba-tiba ada di minimarket terdekat.

"Ya ampun ...." Pria itu mengambil tisu basah, kemudian memangku anaknya di atas lantai. Ia mengelap semua noda di bibir dan pipi anak perempuannya itu.

Anaknya bukan tipikal anak yang suka membuat kegaduhan. Anak itu pendiam, berbicara apabila diminta, tetapi terkadang ... mungkin, itu semua hanya ketenangan sebelum badai melanda, ya?

"Apakah kau tahu milik siapa cokelat-cokelat itu?" tanya sang ayah, masih mengelap pipi mungil anaknya.

Manik mata anak itu menatap langit-langit. "Bukankah ...." Mulutnya terkatup lagi, berusaha mengingat. "... Ah, bukannya sudah kubilang tadi, ini punya ayah?"

Ayah menggeleng pelan. "Bukan, sayang," jawabnya. "Itu milik ibumu. Apakah kau sudah meminta izin kepada ibu untuk memakannya?"

Kini mulut kecil itu menganga, memperlihatkan cokelat yang masih tersisa di gigi dan lidahnya. "Ti ... dak ...."

Wajah ayahnya masih menatap anak itu, seakan-akan menunggu jawaban lain. Gadis kecil itu terhenyak.

"Oh, aku tahu!" Anak itu mendadak berdiri di atas pangkuan ayahnya, nyaris membentur dagunya. "Aku berhutang saja pada ayah untuk menggantikan cokelat ibu, saat aku sudah besar aku akan menggantikannya!"

Pria itu tertawa kecil. Seharusnya ia mereka perkataan anaknya tadi, lalu menagih hutang itu ketika ia sudah dewasa.

"Dari mana kau tahu soal hutang? Hm?" Sang ayah menggelitiki ketiak anak itu, membuatnya terpingkal-pingkal dan akhirnya bersandar pada pangkuan sang ayah. "Memangnya kau mau membayar hutangmu nanti?"

"Tentu saja!" Perempuan kecil itu menatap ayahnya sungguh-sungguh. "Oh, agar ibu memaafkanku juga, apa mungkin aku buatkan origami bunga yang kupelajari di kelas tadi?"

"Oh, tentu saja! Kenapa tidak?" Sang ayah beranjak. "Kalau begitu kita berbagi tugas. Ayah belikan cokelat untuk ibu, dan kau di rumah untuk mengerjakan origami itu sebelum ibu kembali bersama teman-temannya. Ayah akan pergi sebentar saja. Jangan buka pintu pada orang asing!"

"Siap!" Anak itu memberikan pose hormat, lalu berlari ke kamarnya. Sang ayah pun langsung bergegas ke kamarnya, mengambil kunci motor di kantung celana jinnya, lalu segera keluar dan mengunci pintu utama rumah. Jarak tempat itu dari minimarket terdekat hanya 3 menit, jadi ia rasa tidak apa mengunci anaknya selama kurang dari 10 menit.

Mendadak ponsel pria itu bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.

Pa, Mama sebentar lagi sampai. Si Tasya lagi apaa?

Pria itu mendengus.

Gak tahu, ke toilet tadi. Belum keluar.

Pria itu menggas motornya. Sesampainya di minimarket, yang syukurnya tidak ada antrean sama sekali, lalu berhalan cepat ke tempat camilan. Ia mengambil selusin cokelat batangan, semua berbeda jenis, lalu segera membayarnya.

Sesampainya di rumah, ia melihat sepasang sandal istrinya sudah di depan pintu.

Mampus.

---

Aku bingung mau nulis apa ....

Tema: Buat cerita yang diawali dengan kalimat terakhir cerita kalian di hari ke-6.

Pola Laju Masa LaluWhere stories live. Discover now