Kurang Keras

4 1 0
                                    

Harga konser makin lama makin gila, ya? Setidaknya itu yang sedang dipikirkan oleh Kia yang kini berkeringat dingin menunggu jawaban orang tuanya di meja makan.

"Kita sudah bahas ini sebelumnya, bukan?"
Sang ayah meletakkan sendoknya ke piring. "Kau harusnya menabung dari lama. Ayah dan ibu tidak akan menghadiahkanmu tiket konser. Kami hanya akan membelikanmu sesuatu yang ... lebih bermanfaat."

Kia mengembuskan napas panjang. Gadis itu mengerti. Salahnya sendiri terlalu mudah tergiur dengan benda imut online dan berakhir check out setiap akhir minggu. Ironisnya lagi, lokasi konser itu hanya beberapa kilometer saja dari rumahnya.

Gadis itu kini menatap makan malamnya dengan lesu.

Setidaknya, perbolehkan aku mendengar nyanyian mereka dari kejauhan.

Setelah selesai mencuci piring, Kia kembali ke kamarnya. Gadis itu melemparkan tubuhnya sendiri ke kasur, menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak:

"AAAAAAAAAAAAAA--staga teriakin terlalu keras! Maaf, Bu!"

Tidak ada jawaban. Oh, mungkin tidak sekeras itu. Tiba-tiba suara ganjil mengejutkannya. Gadis itu duduk, menegakkan tubuhnya.

Itu suara getaran ponselnya. Gadis itu mengernyitkan dahi. Kenapa telinganya menjadi sesensitif ini?

"Ah, ini kutukan." Gadis itu meraih ponselnya, mengetik beberapa kata untuk ia unggah di media sosialnya.

It's supposed to be a sweet seventeen, not a shitty seventeen 💩

Gadis itu kini membuka notifikasi yang mengejutkannya tadi. Namun suara notifikasi lain memekakkan telinganya. Gadis itu mengecilkan suara notifikasinya. Namun ternyata suara notifikasi sudah ia buat paling kecil.

"Jangan bilang ...."

Gadis itu mengambil pelantang suaranya. Ia selipkan ke antara kedua telinganya, menyambungkannya ke ponsel, lalu membuka aplikasi pemutar musik.

Sebuah kesalahan, gadis itu merasa ia akan kehilangan pendengarannya.

Kala ia melepas pelantang suaranya, suara lain menghampiri telinganya. Sebuah rengekan bayi. "Astaga, apa lagi ini?"

Tangan gadis itu menutup kedua telinganya. Namun suara itu masih terselip masuk, membuat gendang telinganya nyaris pecah.

Seketika suara itu terhenti, menjadi suara rengekan serta buih yang meletup, memperkecil rengekan tadi.

Gadis itu terdiam sejenak. Tetangganya ... ini bayi Tanye Lia, tetangganya bukan?

Kia berlari menuruni tangga, berteriak, "Ibu, aku keluar sebentar!" kemudian keluar dan berlari menuju sebuah rumah kecil di ujung gang.

Kia menggedor pintu. "Tante Lia! Tante Lia!"

Suara bayi tenggelam masih memenuhi telinganya. Tanpa pikir panjang, gadis itu membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Ia berlari menuju kamar mandi. Di dalam, Dea yang baru beberapa bulan tenggelam di dalam bak.

Gadis itu langsung mengambilnya, membasahi dada dan perutnya dengan air. Ia pun berlari keluar kamar mandi. "Tante Lia!"

"Kia! Tolong Dea dulu-"

Kia memutar, berlari menuju sumber suara. "Aku sudah gendong Dea, Tante! Tante di mana?!"

Langkahnya terhenti kala Kia melihat tubuh Tante Lia terbujur di atas tangga menuju lantai dua. "Tante jatuh?!"

Wanita itu mengangguk lemas. Kia menyambar ponsel yang sudah ia kantungi, menelepon ayahnya.

"Maaf Tante aku tidak tahu harus apakan Tante, Kia telepon ayah dan ibu dulu!"

Kia menggigit bagian bawah bibirnya, menyadari bahwa hidupnya tidak akan tenang semenjak malam ini.

---

Tadinya aku mau buat seorang tutor yang kepengen gak perlu tidur seumur hidupnya, tapi aku bingung jadi aku memutuskan untuk menulis ini saja (⁠●⁠'⁠⌓⁠'⁠●⁠)

Tema: Tokoh cerita kalian baru saja berulang tahun ke-17. Tanpa ia sadari, semua permintaan (hanya di hari ulang tahunnya) akan terkabul. Namun, seperti kaya pepatah, with great power comes great responsibility.

Pola Laju Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang