Plop, Plop, Plop!

3 2 0
                                    

Pagi ini, aku dibangunkan oleh suara ketukan bertubi-tubi di kaca jendela. Helaan napas malas terlepas dari mulutku. Mataku tertuju pada jendela di sisi kiri ruangan, memperlihatkan siluet sosok di balik tirai kamar.

Kelopak mataku masih berat, tetapi bergadang sudah menjadi rutinitas. Apalagi dengan Aldi, temanku yang otaknya sisa setengah, meminta untuk digendong agar ia bisa bermain game dengan pacarnya yang berada di rank lebih tinggi.

Dengan terpaksa aku menjejakkan kaki ke lantai yang tak lagi dingin. Kemudian, dengan satu terpaan cepat, kusibak tirai dan di situ dia—sosok gadis dengan dua bola mata besar—menatapku dengan senyuman cemas.

Tara, ya?

"Niel," cicit gadis yang sudah lama tidak aku lihat, "Aku ganggu, gak?"

"Lebih ke takjub, sih," aku menahan ekspresi wajahku yang nyaris tersenyum, "ini lantai dua. Gimana ceritanya lo tiba-tiba di situ?"

Gadis itu tertawa canggung. "Tolong buka jendelanya dulu, boleh?"

Aku membukakan jendela, kemudian memberikan tanganku agar ia dapat masuk ke dalam. Jemari lentiknya menggenggam erat tanganku, kemudian ia melompat ke dalam dengan sepatu masih tertempel di kaki.

Tiba-tiba terdengar suara benda yang beradu kemcang. Aku melongok keluar, melihat tangga yang telah bertemu bericuman mesra dengan dinding rumah tetangga sebelah.

"Naik tangga?" tanyaku. "Itu tangga siapa, Tar?"

"Loh, bukan tangga keluarga kamu?" Gadis itu melepas sneakers yang kini tergantung di tangannya. "Tadi aku nemu di halaman belakang rumah. Kukira punya papamu, atau siapa, gitu ...."

Spontan aku menggelengkan kepala, tangan terlipat di depan dada. "Ya udah, gak penting. Sekarang, kenapa lo tiba-tiba dateng ke rumah gue pagi-pagi, terus dengan cara yang jauh dari kata tradisional?"

Gadis itu, Tara, menelengkan kepalanya kemudian tersenyum jahil. "Jadi itu tadi cara modernnya, ya?"

Telunjukku menoyor dahi anak itu. "Serius gue. Udah makan belum?"

"Ih, kamu care banget." Gadis itu membenarkan posisi ransel yang tersangkut di pundak kanannya. "Belum dong."

"Kayaknya berat tuh." Aku merebut ranselnya, mengenakannya lalu menikmati wajah sebal Tara. Gadis itu meraih ranselnya, tetapi aku terus menghindar. Namun beban di punggungku perlahan membuatku pegal.

"Anj*r, berat beneran." Aku menggenggam kedus pergelangan tangan Tara. "Lo bawa apaan, sih? Mau minggat?"

Ia merengut. "Aku udah pesen tiket travel. Nanti sore aku pulang."

"Oh, habis nginep di rumah bokap?" Seingatku papa Tara tinggal di sini bersama kakaknya. Ia sempat bercerita tentang penceraian orang tuanya. "Ketemu kakak brengsekmu itu dong?"

"Sebelum ketemu kakak, aku udah kabur duluan."

"Hah?"

Suaranya mengecil. "Aku kabur dari rumah papa, terus nemu bangku gitu di lapangan. Karena ada atepnya dan tempat itu gelep, aku tidur di sana."

"Tara ... lo gila ya?" Tanganku kini meremas kedua bahunya. "Lo gak takut diculik, apa? Bisa jadi besoknya muncul di berita, 'Gadis Kelas 2 SMA ditemukan tewas mengenaskan'. Gak mikirin bokap nyokap lu bakal gimana denger berita kayak gitu?"

Gadis itu menunduk. "Tapi kakak bakal seneng, sih, kalau denger itu."

Aku mengembuskan napas panjang. "Mandi dulu sana, lo bau. Lo hoki ortu gua lagi liburan, cuma gue di rumah."

Tara mendongak, menatapku dengan mulut tertekuk ke bawah. "Gak papa aku numpang mandi?"

"Mandi tinggal mandi, dah dibilang lo tuh bauuu—," aku mendorongnya keluar kamar, mengarahkannya ke kamar mandi lantai dua, "—uuuuu pake banget. Nanti gue ambilin handuk. Bebas lo mau pake sabun atau sampo mana aja."

Pola Laju Masa LaluWhere stories live. Discover now