Buih Magis

6 0 0
                                    

Jarum jam menunjuk ke arah angka dua belas dan delapan ketika Loid meninggalkan istana. Pemuda itu berjalan cepat seraya mengacak-acak rambut pirangnya. Ia harus keluar, mencari udara segar untuk melupakan studi sihir yang sudah membuat otaknya memanas dan tak bisa berpikir lagi.

Gerbang kastil dijaga oleh dua ksatria kasat mata yang menggunakan zirah lempeng berkarat. Loid memutar bola matanya ketika ia melihat salah satunya mendongakkan pelindung kepalanya, mengeluarkan erangan berat.

"Apa, Eugene?" Loid mendecak. "Sebal tidak bisa keluar? Syukuri saja kepala sekolah masih menyimpan arwahmu dan mengikatnya ke baju zirah rapuh itu. Tanpa itu kau pasti sudah melihat neraka."

Baju zirah itu menundukkan kepala.

Loid menyipitkan mata, menghindari binar lampu jalan yang kekuningan. Banyak pemuda dan pemudi seumurannya memenuhi jalan, walau ia dapat melihat terdapat guru yang telah berkeriput tengah menjilat permen lolipop juga.

Sang pemuda menyelip manusia-manusia berbusana hitam itu, berjalan menuju gang kecil di antara toko buku mantra dan bangunan kecil yang telah lama ditinggalkan. Semakin lama ia berjalan, lorong itu semakin sempit dan mencuri cahaya malam yang ada.

Kini gang yang diapit dua dinding berakhir, memperlihatkan sudut bebatuan yang telah berlumut dan tidak menarik. Jemarinya mengelus sudut itu, dari atas ke bawah, seraya menggumamkan mantra asing.

Bebatuan itu meringkih, menjatuhkan diri satu per satu dan membuka pemandangan yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Di hadapannya merupakan pemandangan sebuah danau raksasa, dengan pantulan dua rembulan perak di atasnya.

Loid melangkah masuk dengan mukanya yang kusut. Bebatuan di belakangnya menyusun dirinya kembali. Manik hitam Loid menangkap riak air tak jauh dari mulut danau. Perlahan, sebagian air itu terangkat, seakan-akan danau itu merupakan sebuah selimut yang dapat disingkap kapan saja.

Di balik tirai air yang tercipta, sebuah ruangan kecil dengan banyak barang eksotis bergantungan terlihat. Di tengahnya, terdapat pria tua ceking yang menatap Loid semringah. "Aku sudah meramalkan kedatanganmu--"

Loid memaksakan sebuah tawa. "Pak tua, aku kemari hampir tiap malam. Kau tidak meramalkan apapun."

"Lidahmu tajam, seperti biasanya." Pria berambut legam panjang itu tertawa. Ia membalikkan tubuhnya, kembali menyusun barang-barang ke dalam laci kayu. "Apa yang kau butuhkan?"

"Buih."

"Sebuah adiksi."

Pria itu membuka salah satu lacinya, mengeluarkan botol kecil dengan cairan transparan yang mengilap di bawah sinar rembulan. Kemudian ia membuka laci lainnya, mengambil sebuah kota berisi serbuk entah apa.

Ia meletakkan keduanya di atas meja, kemudian merunduk untuk mengambil sebuah mangkuk kecil dan sendok panjang untuk mengaduknya. Kedua bahan itu tercampur, mengeluarkan uap merah jambu dalam prosesnya. Pria itu kemudian mengambil hal lain dari lacinya, semua pipa kecil layaknya sedotan.

"Silakan." Pria itu memberikannya pada Loid. Loid mengambilnya, kemudian memberikan beberapa keping koin pada pria itu.

Tanpa mengucapkan terima kasih, sang pemuda menyelipkan pipa itu di jemarinya, mengaduk sebentar bahan tadi dengan pipa itu, lalu menyelipkannya di antara bibir.

Ia menyesap cairan berkilauan itu, lalu melepas pipa itu dari mulutnya. Bibirnya membulat, meniupkan buih yang perlahan membesar dan terisi dengan gas abu dsri mulut Loid

Pemuda itu mengatup mulutnya, menutup bukaan buih besar itu dan melihatnya terbang ke udara. Dadanya terasa lapanh, seakan-akan ia sudah melepaskan keresahan yang ia derita dari kelas ilmu hitam tadi

Loid mengambil tongkat dari kantungnya, mengayunkannya, lalu sebuah kursi berjalan sendiri mendekatinya. Ia menatap kembali pria yang masih berdiri di balik meja. "Kapan warung ini tutup?"

"Hingga akhir dunia, jika aku sungguh berusaha."

Loid menelengkan kepala. "Konyol."

---

Tema: Warung

Aku cuma buat penyihir ngerokok di cerpen ini.

Pola Laju Masa LaluWhere stories live. Discover now