Kembali

1 0 0
                                    

Ketenangan menerpa sekujur tubuhku, begitu pula air dingin yang tak kunjung berhenti datang. Perlahan kubuka mataku. Pandanganku diisi langit malah penuh dengan bintang ganjil, menyeruak dan menusuk seakan-akan cahaya-cahaya itu menatap tepat padaku.

Aku menggerakkan tubuhku yang terkapar di atas pasir, berupaya untuk duduk dan menatap sekitar.

Gaun putihku basah dan berpasir. Aku mengibaskan pasir-pasir itu, kemudian menyadari suara desir sungai di depanku. Pantulan bulan yang telah terbelah menjadi tiga terpatri di tengah sungai.

Tunggu ... itu bukan bulan. Itu bumi.

Aku ... seharusnya sudah mati di sana.

Seharusnya rusuk kanan dan kiriku telah menyatu di bawah tanah. Seharusnya aku sudah menyusul ibuku.

Aku memaksa kakiku berdiri. Pandanganku mengikuti arus sungai yang tenang. Sisi-sisinya merupakan pasir gelap, kemudian rerumputan hijau yang berembun.

Tak jauh dariku, berdiri sosok berjubah putih yahlng tak dapat kulihat dengan jrlas wajahnya. Tanpa berpikir panjang aku berjalan menghampirinya.

Ketika jarak kami hanya terpisah 5 langkah, makhluk itu tersenyum.

"Katakan." Suara makhluk itu rabun dan buyar, tetapi aku dapat memahaminya. "Dengan apa kau ingin kembali?"

Aku mengerutkan dahi. Kemudian mulutku terbuka dengan sendirinya, "Bianglala."

Makhluk itu mengangguk.

Tiba-tiba dari dasar sungai, timbul besi-besi yang tersusun, perlahan menampilkan bianglala yang utuh. Bianglala yang selalu mengampiriku di alam mimpi semenjak umurku 9 tahun.

Sama persis dengan bianglala yang pertama kali kunaiki dengan ibuku.

"Duniamu." Makhluk di hadapanku mendadak berdeham. "Katakan padaku, apakah sulit untuk kau lalui?"

Lidahku kelu. Bola matanya yang hitam pekat terus menatapku, menunggu jawaban.

Apakah sulit?

Sulit untuk mengingat kembali kenanganku. Saat aku pertama kali berhasil mengepang rambutku sendiri merupakan hal yang sulit bagiku, tetapi berakhir memuaskan. Belajar di salah satu universitas terbaik tetapi di jurusan yang tak kuminati merupakan hal yang sulit pula, tetapi ayah bangga padaku. Berbicara dengan para rentenir yang membuat ibuku meninggal karena serangan jantung ....

Aku memandang makhluk di hadapabku terlalu lama, mataku kering.

"Apakah aku harus menjawabnya?" Aku nyaris terbata.

Makhluk itu menunduk. "Tidak," ujarnya tenang, "tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban."

Lampu-lampu bianglala menyala, kemudian berputar perlahan hingga salah satu kabinnya menyentuh air.

"Masuklah," titah makhluk itu. "kau akan kembali ketika kau sudah berada di titik terdekat dengan langit."

Aku menurut. Sepatuku tenggelam di dalam pasir kala aku mendekati bianglala itu. Aku membuka pintu besi bianglala, melihat air telah mengalir masuk ke dalam. Mungkin sepatuku akan agak basah ... walau ia sudah basar semenjak tadi.

"... Terima kasih." Aku tidak menoleh ketika mengucapkannya.

Aku memasuki kabin, menutup pintu, kemudian duduk di kursi kulit. Makhluk itu masih menatapku dari luar. Sepertinya senyum yang ia miliki sudah terjahit pasti di wajahnya.

Bianglala berputar. Semakin tinggi, semakin luas padang rumput yang kulihat, dan semakin panjang sungai di bawah. Aku mendongak, menatap bumi yang semakin lama semakin tak terlihat bentuknya.

Ketika kapsul mencapai titik tertinggi, bianglala berhenti bergerak. Lampu-lampu padam. Bianglala ini mati.

Perlahan aku menggeserkan tubuhku ke sisi kabin, lalu menatap ke bawah. Makhluk itu sudah tidak ada.

"Apa yang sedang kau cari?"

Suara itu membuatku terperanjat, nyaris aku terjatuh dari kursi. Aku menoleh, hendak melihat sumber suara yang familiar itu.

"Ibu ...?"

---

Lanjutan cerita kemarin :'D

Tema: Buatlah cerita yang mengandung tiga kata ini: sungai, bianglala, rentenir. Maksimal 1000 kata.

Pola Laju Masa LaluOù les histoires vivent. Découvrez maintenant