Sabit

0 0 0
                                    

"Dre, mengapa kau menangis?"

Aku menangis? Makhluk itu menyeka air matanya dengan jari-jemarinya yang berupa tulang belulang. "Tidak," balasnya parau, "untuk apa aku menangis?"

Sosok berjubah hitam yang melayang di sisinya melengos pergi. Dre hanya menatap ujung jubahnya yang transparan menyapu aspal yang dingin. la mengembuskan napas yang berat nan panjang.

Dre mengambil sabitnya yang bertengger di pagar tangga rumah sakit. Ia melepaskannya ke udara, membuatnya terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang terembus angin malam.

Malam ini, ia berhasil merenggut nyawa untuk ketiga kalinya. Namun, ia yakin ia tidak dapat melakukannya lagi. Ia tidak kuasa.

Yang ia cabut nyawanya merupakan nenek tua yang bahkan sudah lupa bagaimana caranya berbicara. Melihat isak tangis cucu satu-satunya membuat tangan dan sabitnya bergetar.

Namun, satu-satunya cara agar ia masih dapat mengelilingi bumi adalah menjadi pencabut nyawa yang efektif dan efisien. Emosinya menghalangi pekerjaannya, menghalangi keinginannya untuk terus dapat melihat rumah masa kecilnya di kota sepi itu.

Tak terasa, ia sudah melayang mendekati rumah yang ia pikirkan sedari tadi. Ia menembus pintu utama, kemudian memasuki kamar tidurnya yang rapi—sebagaimana ia meninggalkannya sebelum ia mati.

Ia merebahkan tubuhnya ke kasur, menembusnya, lalu berusaha untuk melayangkan tubuhnya di atas kasur dengan canggung. Matanya yang sudah tidak lagi ada menatap langit-langit yang selalu ia lihat tiap malam.

Andai ... andai saja ia dapat memutar ulang waktu.

Andai ia sering berkunjung kembali ke rumah, merasakan sup buatan ibunya yang tak pernah tergantikan tiap pulang sekolah, memeluk ayahnya lebih banyak ....

Ia tidak tahu apakah keputusannya untuk bekerja ke luar kota merupakan keputusan yang benar. Namun ia membutuhkan validasi, membutuhkan pekerjaan yang dapat ia banggakan dan mendapatkan pundi-pundi uang yang diimpikan semua wisudawan.

Ah, apakah itu air mata lagi yang mengalir ke tulang pelipisnya? Konyol, ia tidak pernah menyangka ia akan menjadi tulang-belulang berjubah hitam yang membawa sabit raksasa ke mana-mana untuk memperpanjang hidupnya.

Suara kenop pintu yang berputar terdengar. Dre terperanjat. Ia menembus dinding luar rumah, lalu menyembulkan sedikit wajahnya untuk melihat siapa yang baru saja memasuki kamarnya.

Sosok ibunya muncul di balik pintu.

Oh, betapa rindunya Dre dengan wanita bersurai keperakan itu.

Sang ibu menghampiri nakas, menyalakan lampu duduk yang menguarkan cahaya lembut kekuningan. Ia menduduki kasur, menatap bantal yang tak lagi disentuh siapapun tiap malam.

Dre duduk di sampingnya, menatap wajah berkeriput ibunya dari dekat. Ia dapat mencium aroma pai apel yang biasa dibuatkan ibunya. Andai Dre bisa menyentuhnya, memeluknya ....

"Dre," sang ibu menunjukkan buku kecil bergambar dari sakunya, "kau ingat buku ini? Ibu selalu membacakannya padamu sebelum kau tidur dulu ...."

Tulang-belulang makhluk itu bergetar. Ia tidak dapat lagi menahan rasa sedihnya, rasa rindunya yang campur aduk di dalam tubuhnya.

Sang ibu membuka buku itu, membacakan kata demi katanya persis sebagaimana wanita itu selalu membacanya 30 tahun lalu.

Ketika halaman terakhir terbuka, wanita itu langsung menutupnya. Air mata mengucur begitu saja. Ia berdiri, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.

Kini Dre sendiri, lagi. Tanpa pikir panjang, ia mengacungkan tangannya ke udara, mengembalikan dabit raksasanya dari ketiadaan, lalu memenggal kepalanya sendiri.

---

Tema: Buatlah songfic dari lagu terakhir yang kau dengar.

Lagu terakhir yang kudengar merupakan Stressed Out dari Twenty One Pilot. Rasanya deja vu. Sepertinya aku pernah menulis songfic Stressed Out ... di DWC sebelum-sebelumnya, mungkin?

Karena itu aku buat cerita ini bukan sosok dewasa yang berharap ia bisa kembali ke masa kecil, tetapi sosok yang sudah mati dan dikutuk jadi grim reaper berharap ia kembali ke masa kecilnya ... ketika ia masih hidup 👌🏻

Pola Laju Masa LaluWhere stories live. Discover now