[09] Kelana Pembenaran

21 2 0
                                    

"Kau mau lari kemana lagi, El? Wah, jangan bilang kau benar berpikir bahwa Holydead akan menyelamatkanmu?" Lelaki itu tertawa nyaring.

Rambut yang merah, mata yang merah, gigi yang merah, semua bagian tubuhnya berwarna merah. Tatapannya yang seperti ingin menerkam siapapun, yang seperti ingin merobek jeroan perut, yang seperti ingin menarik tumpukan usus dari tempatnya, membuat El merinding. Menahan mati-matian jeritan yang minta dibebaskan dari tenggorokannya.

"Kau percaya begitu saja dengan perkataan perawat itu, Kak? Kenapa kau polos sekali Kak? Bagaimana jika hukumanmu bertambah karena melarikan diri, Kak? Bagaimana jika kau tertangkap dan langsung digantung, Kak?"

Suara familiar itu terdengar dari belakang punggung El. Membuat gadis kecil yang kondisinya amat mengenaskan itu, memutar badannya perlahan.

Matanya membulat, ketika yang ia temui adalah seorang anak laki-laki dengan darah yang mengalir deras dari dadanya. Adik El yang malang. Ekspresi dinginnya perlahan berubah ketika El mencoba memangkas jarak.

Kedua tangan itu perlahan terangkat, El mengerti isyarat itu.

"Peluk aku, Kak."

El menengak salivanya ketika sang Adik berkata demikian. Darah semerta-merta mengalir deras dari mulut sang Adik.

Anyir.

Pusing.

El ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya saat itu juga.

Sang Adik tampak murung.

"Kenapa, Kak? Kakak tidak suka dengan penampilanku saat ini? Tapi ini karya Kakak, loh. Kakak yang membuat aku menjadi seperti ini ... harusnya Kakak senang," lirihnya sembari menurunkan kedua tangan yang ia angkat tadi.

Hening.

Ada seribu juta kata yang El ingin lontarkan kepada sang Adik. Ada miliaran kata maaf yang ingin El teriakkan. El tak mengerti, El tak paham dengan dirinya saat itu. El begitu kebingungan. Tapi sayang seribu sayang, mulut gadis kecil itu seperti terlakban lima belas lapis walau sebenarnya selembar saja tak ada.

"KAKAK HARUSNYA SENANG! KENAPA MURUNG?! KAKAK BAHAGIA SAAT ITU, KAN? KAKAK MENIKMATINYA!" teriak sang Adik kali ini dengan darah yang juga ikut mengucur dari kedua bola matanya.

"Lucu sekali kau, sialan." El menoleh ke samping kirinya. Dan ia mendapati kedua kakaknya, menggeram dengan tatapan dendam. Kedua kakaknya, yang duduk tegak dengan perut robek, mempertontonkan usus mereka secara cuma-cuma.

"Sudahlah, jangan menyalahkan anakku ini. Ayo Nak, ikut bapak ke bawah. Tolong bantu potongkan kuku bapak."

El langsung memutar tubuhnya ke samping kanan, lantas membekap mulutnya sendiri ketika didapatinya sang Ayah yang berbicara, dengan kesepuluh jari yang menyumpal mulutnya.

"Bicara."

"MAAF!"

PLAK!

Nafas memburu, detak jantung yang begitu keras, El merasakan kebas di pipi kanannya. Mengerjapkan mata, El kebingungan ketika ia mendapati wajah seseorang yang tak asing, namun juga tak familiar di matanya.

"Apa yang kau mimpikan? Untuk apa kau minta maaf? Apakah kau bertemu keluargamu di dalam sana? Lalu tiba-tiba kau merasa bersalah dan meminta maaf karena telah mengakhiri hidup mereka?"

"Yalknost!"

"Apa, Duka? Kau berpikir aku tak tahu siapa anak ini? Sedangkan wajahnya terpampang di seluruh stasiun televisi, bahkan di warung makan, wajah iblis ini dicetak dan diletakkan di kaleng kerupuk. Kau pikir aku sebodoh apa, hah?" Ekspresi kecewa terpampang jelas di wajah Yalknost yang terpahat apik layaknya patung yunani.

"Aku tak bermaksud demikian. Aku hanya tak mau kau mengambil tindakan gegabah jika aku memberitahumu. Sedangkan anak ini hanyalah anak kecil biasa, dosanya tak seberapa--"

"Membunuh seluruh anggota keluarganya, bagimu itu tak seberapa, hah? Sudah sinting nampaknya kau ini!"

"Belum terbukti! Dan saya pun tak ingat jelas kejadian malam itu, jadi, jangan hakimi saya sebelum saya yakin bahwa saya lah yang membunuh keluarga saya." El buka suara, mengalihkan perhatian dua orang dewasa dengan penampilan yang amat bertolak belakang itu yang sekilas mirip Dakthes dan Zwin.

"Aku setuju." Duka mengangguk, menyibak poni rambutnya ke belakang. Memperjelas sayatan-sayatan luka yang bertaburan dengan pola tak tentu di wajahnya. Entah apa yang dilakukan pria itu di masa lampau, sampai menimbulkan bekas sebegitu banyaknya. Bahkan kiranya, pendekar jaman dahulu pun tak sampai seperti itu.

"Anak ini hanya ingin pergi ke Holydead untuk menemui seseorang demi mengkonfirmasi apa yang sebenarnya ia lakukan. Bahkan tadi kubaca di koran, polisi tak bisa menemukan bukti konkret yang tak bisa direkayasa. Karena ternyata, bukti yang menuju pada anak ini, semuanya adalah bukti yang bisa direkayasa," sambung Duka.

"Dan kau serius akan membawanya ke HolyDead. Duka, kau tak lupa slogan tempat itu 'kan?"

"Sekali masuk, tak ada jalan keluar. Bagaimana aku bisa lupa?"

"Lalu, dengan latar belakangnya, apa kau tak berpikir bahwa ia hanya dijebak?"

Duka terdiam sejenak, nampaknya ia sedang berpikir keras. Kerutan di dahinya makin lama makin bertambah, walau tak sebanyak sayatan di pipinya.

"Entah kenapa, firasatku mengatakan kita harus membawa anak ini. Entahlah, aku percaya padanya," ucap Duka secara gamblang sambil memandang El yang duduk kebingungan.

Tiba-tiba saja, Yalknost memutar badannya menghadap ke depan. Ia mengusap wajahnya kasar, untuk kemudian menghela nafas panjang.

"Apa yang bisa kuperbuat jika kau sudah berkata begitu," lirihnya sebelum menyenderkan kepala ke kursi dan menutup mata frustasi.

Duka mengangkat bahunya, kembali fokus pada setir dan mulai menghidupkan kembali mesin mobil.

"Tapi kau harus bertanggung jawab untuknya, mengerti? Kau yang harus bertanggung jawab. Ulangi kata-kataku."

"Aku yang akan bertanggung jawab," tutur Duka tanpa pikir panjang.

"Tolong turunkan aku di Jembatan Veins. Sekitar jam delapan pagi," pinta El.

"Kau dengar? Dia bahkan tak tahu diri meminta-minta kepada kita."

Wajah El langsung muram mendengar omongan pedas Yalknost. Gadis malang itu menundukkan kepalanya dalam dan memperbaiki duduknya yang kurang nyaman. Duka melihat semua itu lewat kaca.

"Jangan hiraukan perkataan Yalknost. Dia memang suka berkata pedas, bukan berarti dia tak menyukaimu--"

"Hei! Tapi aku memang tak suka--"

"Kita akan tiba jam 7, aku akan menurunkanmu disana dan menjemputmu jam 9 jika perlu. Jadi sekarang tidurlah, persiapkan tenaga sebanyak-banyaknya untuk esok pagi. Entah kenapa aku merasa kau akan mengalami hari yang luar biasa esok pagi."

"Berani kau memotong ucapanku, Duka?"

"Maafkan aku Yalknost, tapi beri dia sedikit toleransi. Dia masih anak-anak."

Yalknost diam, kembali menghela nafasnya dan menempatkan dirinya.

El tersenyum, "Terimakasih Pak Duka."

"Panggil Paman saja. Aku masih dua puluhan."

"E-eh, baiklah Paman Duka."



NOTE : Untuk mendapatkan update chapter setiap hari dan bonus chapter exlusif, kamu bisa mengikuti akun Karyakarsa saya di bawah ini.

https://karyakarsa.com/Blckmsk




THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang