[21] Metamorfosis : Telur

12 1 0
                                    

Lampu-lampu jalan menerangi, tetap bersinar walau tahu tak akan bisa menyaingi sang Rembulan. Mobil itu melaju, keluar dari area Rumah Sakit dan bergabung dengan kendaraan lain.

Duduk manis di samping kursi kemudi, El terus memandang ke luar jendela. Pikirannya berkecamuk, apalagi setelah mendengar penjelasan tentang apa yang akan ia lakukan malam ini.

Ia bahkan tak bisa menatap mata Nako semenjak kata terakhir yang Kakaknya itu ucapkan.

"Tenang, kita hanya latihan. Kamu tidak benar-benar akan membunuhnya," ujar Nako mencoba mencairkan suasana.

Namun El adalah El. Gadis mungil itu akan sulit dibujuk apabila sudah terlanjur kalut dalam pikirannya. El tak menggubris kalimat-kalimat Nako selanjutnya, kalimat-kalimat manis yang seharusnya mampu menenangkan bocah seumurannya.

Lama, akhirnya Nako menyerah. Ia memilih diam dan mengikuti permainan El.

Mobil berbelok, dan El kembali melihat taman kota yang tadi pagi baru dibuka.

"Kita pulang?" gumam El yang terdengar jelas oleh Nako.

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum, ia tak menyangka El sudah menganggap gedung terbengkalai yang sudah gosong itu sebagai rumahnya.

"Kita pulang dulu, aku perlu Liam."

Sampai kemudian mobil terparkir di belakang gedung, El dan Nako bergegas keluar. El awalnya menolak, toh mereka nanti akan pergi lagi. Tetapi Nako berhasil membujuknya, dan kini keduanya berakhir duduk berhadapan dengan Liam.

Lelaki itu menyesap kopi susunya, menatap Nako dan El secara bergantian.

"Untuk melatihnya, bukankah sudah kusuruh kau untuk membawanya ke Grave?"

Nako menggeleng, tanda tak setuju dengan penyataan Liam.

"Jadi? Apa rencanamu?" tanya Liam tenang.

"Aku ingin membawanya ke Gun Airport. Kamu tahu, dia bahkan pingsan berjam-jam karena melihatku menembak--"

"Dengarkan aku, Nako. Sebelum memegang pistol, kamu harus bisa menguasai gerakan bela diri dasar. Anak ini belum punya bekal apa-apa!" potong Liam sedikit emosi. Ia lumayan geram dengan Nako yang keras kepala dan lemot jika diberi informasi.

"Tapi--"

"Sudahlah. Begini saja! Aku akan mengurus pelatihannya, sisanya kuserahkan padamu. Bagaimana?" tawar Liam dengan wajah lelahnya.

Setelah lama berpikir, akhirnya Nako menganggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa dirinya belum bisa mencarikan metode terbaik untuk menempa El, anak asuhnya.

"Ya sudah, kembali ke tempatmu. Penuhi pesananmu jika ada. Dan El, kamu kembali ke ruanganmu, siapkan dirimu untuk esok pagi."

Ketiganya bubar setelah itu, kembali ke persemayaman masing-masing. Nako yang tak ada pesanan, sempat menawarkan diri untuk menemani El. Namun, El menolak dengan tegas.

Sesuatu terjadi pada penilaian El terhadap Nako.

Sementara itu, Liam kembali ke ruangannya. Ruangan gelap yang monoton, tak ada yang spesial. Bahkan hiasan satu pun tak ada. Siapapun tak akan percaya bahwa Liam lah yang mendesain ruangan Nako, jika melihat tata ruangan miliknya.

Lelaki itu merebahkan tubuhnya di sofa, tepat setelahnya, sakunya bergetar.

Smartphone itu berdengung-dengung, Liam menggeser tombol hijau yang mengambang.

"Halo?" sapanya.

"Untuk melatihnya, aku sudah membuat janji dengan Grave keeper. Dia bilang dia bisa melatih mulai besok pagi. Persiapkan dan awasi benar-benar anak itu. Jangan sampai Grave Keeper memberinya ilmu lain selain beladiri."

"Tunggu! Kau--"

Tut!

Telepon terputus. Sialan! Siapapun itu, sangat tidak sopan!

---

"Perkenalkan! Nama saya Elvanna Vilvfred. Saya akan menjadi murid anda, Tuan Grave Keeper." El membungkukkan punggungnya sembilan puluh derajat, sampai matanya hanya dapat melihat sepatu lusuh yang dikenakan Kakek tua di hadapannya.

"Tetap seperti itu, sampai petang."

---

Punggung El rasanya seperti terputus. El bersyukur ia datang ke kuburan HolyDead itu pada pukul sepuluh siang, jadi total ia membungkuk hanya delapan jam dengan jeda sepuluh menit tiap jamnya.

"Aku harus mengabdi padanya, Kak?" tanya El sembari meluruskan punggungnya di jok mobil.

Nako mengangguk, "Itu demi kekuatanmu."

Hari-hari selanjutnya, El terus datang ke kuburan yang sama. Membungkuk dan menyapa dengan hormat Kakek tua yang lama-kelamaan mulai ia benci. Kakek itu hanya terus memberinya perintah tak masuk akal. Tak pernah satu kalipun Kakek itu mengajarkan gerakan beladiri yang didamba El.

Setiap hari, ada saja hal yang berkaitan dengan keseharian yang terjadi dan harus El selesaikan. Misal mengepel, mencuci, menjemur, melipat, memasak, memetik teh, mencari bunga langka, memancing, menombak, memanah burung, berburu rusa dengan dirinya yang menjadi umpan, dan masih banyak lagi.

Intinya, sesuatu yang sama sekali tak berhubungan dengan beladiri. Seperti hari ini.

"Kek, selamat pagi! Saya Elvanna--"

"Nisan kuburan-kuburan itu kotor, semalam terkena hujan deras. Bersihkan, tidak lebih dari jam 12 siang harus selesai."

Lihat? Dengar? Lagi-lagi perintah tak masuk akal. Namun El hanya mengangguk, sebab itulah yang Nako dan Liam sarankan.

'Jangan tanya apapun dan lakukan perintahnya.'

Nako dan Liam terus mengucapkan kalimat yang sama setiap kali El mengeluh karena tak ada perubahan signifikan pada dirinya. Selalu kalimat yang sama, setiap kali El merasa bahwa apa yang ia lakukan hanya sia-sia, bahwa ia hanya dipermainkan oleh Kakek Tua itu.

Selesai dengan nisan di kuburan yang jumlahnya hanya puluhan itu, El kembali ke gubuk sang Kakek yang terletak di depan gerbang kuburan. Mengetuk pintu, El masuk setelah dipersilahkan.

"Sudah selesai?" tanya Kakek itu setelah melihat sekilas jam dinding. Masih pukul 11.30.

El mengangguk, "Sudah Kek."

Kakek itu mengambil bungkus rokok yang tergeletak di meja, menarik satu batang dan membakar rokok itu setelah berhasil dihimpit dua bibir hitamnya. Disesapnya dalam-dalam, terlihat sangat menikmati sampai kemudian kepulan asap itu mengudara semena-mena.

"Anu, Kek," celetuk El tiba-tiba setelah memperhatikan cukup lama kegiatan sang Kakek.

Kakek itu berdeham, sebagai isyarat bahwa El bisa melanjutkan kalimatnya.

"Eh, anu, kira-kira sampai kapan saya harus mengerjakan hal-hal seperti ini?" tanya El dengan kepala tertunduk dalam.

Akhirnya, setelah hampir setengah bulan bekerja seperti budak, El berani mengungkapkan pertanyaan itu.

Takut-takut El mengangkat kepalanya lagi, setelah tak kunjung juga diberi jawaban. Hingga mata mereka bertemu, Kakek itu tersenyum perlahan.

"Berhubung pertanyaan itu sudah berani kau lontarkan, Anak muda, kurasa kau sudah siap untuk memulai latihan yang sesungguhnya," ujar sang Kakek membuat El makin bingung.

Jadi maksudnya, selama ini hanya latihan bohongan? Bukan yang sebenarnya?

"Suruh Nako untuk mengantarmu kemari lagi nanti malam. Tak perlu bawa apa-apa, kau akan melakukannya dengan tangan kosong. Oh ya, suruh juga dia untuk membawa 'pesanan' ku. Kita akan menyantapnya, malam ini."

El menenggak salivanya. Sepertinya ia salah langkah.

---

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now