[04] Brankar Tanda Tanya

34 4 4
                                    

Saat ini Dakthes sedang menghujami wajahku dengan tatapannya yang tak bisa kuartikan. Dadanya masih naik turun, ia masih ngos-ngosan karena tadi tergesa-gesa kemari.

"Maafkan aku, Pak Dokter. Aku sudah berbohong kepadamu," lirihku.

Dakthes seketika menghembuskan nafasnya kasar sembari menyisir rambutnya ke belakang.

"Entah apa yang hendak kau katakan padaku, tapi berbohong tentang ingatanmu yang sudah kembali walau sedikit, itu cukup fatal. Kau tahu, itulah yang menjadi kuncimu. Semua pihak menantikan ingatanmu untuk kembali karena aku mendiagnosismu mengalami Amnesia Sementara."

Aku menunduk, membiarkan Dakthes meluapkan kekesalannya kepadaku.

Toh itu memang kesalahanku.

"Jadi, apa yang mau kau katakan?" tanyanya setelah beberapa detik diam tanpa suara.

"Guru Ilmu Pengetahuanku. Namanya Pak Noah. Apa anda mengenalnya?"

Dakthes langsung menggelengkan kepalanya sedetik setelah kalimat pertanyaan itu terlontar dari mulutku.

Ia keheranan, "Mana mungkin aku mengenal gurumu. Kita baru saja bertemu. Jika kau menanyaiku karena aku menceritakan kejadian malam itu kepadamu, sebenarnya bisa dibilang seluruh masyarakat kota ini tahu detail yang sama. Jadi cerita yang aku berikan padamu itu sifatnya umum. Aku bukan Dokter yang mendapat kepercayaan untuk diberi tahu seluk-beluk Pasien."

"Pak Noah, malam itu dia ada di kamarku. Dia ada di dalam ingatan terakhirku."

Detik selanjutnya, Dakthes langsung mengambil ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Ia menelpon seseorang.

"Zwin, maaf menganggu, biarkan aku bertanya sesuatu padamu, apa kau bisa datang ke rumah sakit? Ya, sekarang."

Berkat telepon dari Dakthes, kini Zwin dan Ahli Psikologi Forensik sedang duduk mengelilingi brankarku dengan sinar mata yang berbeda-beda.

Ibu-ibu berkacamata melihatku seperti sedang melihat mikroba dari miksroskop, seolah-olah aku adalah jenis Virus baru yang membahayakan dunia dengan struktur tubuh abnormal.

Dakthes dengan sinar mata penasarannya yang murni, dan Zwin dengan sinar mata 'kalau kau membual, hukumanmu bertambah.'

Selanjutnya, aku mulai buka suara. Aku menceritakan kronologi kejadian hari itu yang ada di ingatanku. Mulai dari aku yang mengerjakan pekerjaan rumah, Pak Noah yang datang berpura-pura mengajariku, dan aku yang menutupkan mata karena merasa ngantuk.

Sampai di situ, Zwin menoleh, ia menatap Ahli Psikologi Forensik yang menggelengkan kepalanya.

"Dia sama sekali tak berbohong. Apa yang ia katakan sesuai dengan kenyataan yang terjadi," jelasnya sembari membenarkan kacamatanya yang miring sebelah.

Zwin menganggukkan kepalannya, tanda mempercayai kalimat Ibu Berkacamata.

"Begini Bocah, malam itu memang bukan aku yang menemukanmu, dan aku memang tak langsung menangani kasusmu karena sedang berada di luar kota. Tapi, aku cukup yakin bawahanku yang bertugas menanganimu memiliki kualitas yang bisa dibanggakan.

Tak ada sidik jari lain di tubuh keluargamu selain sidik jarimu. Hasil penyelidikan juga menyatakan bahwa tak ada tersangka lain selain kau. Kami sudah memeriksa semua CCTV di seluruh kompleksmu, kami sudah menanyai saksi-saksi yang ada.

Itu semua kami lakukan karena kau adalah seorang Bocah, itu semua kami lakukan karena pada saat itu kami tak mau percaya bahwa seorang Bocah sembilan tahun membunuh seluruh anggota keluarganya tanpa belas kasihan." Zwin berdiri, wajahnya yang memiliki garis keras sama sekali tak menunjukkan perubahan emosi.

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now