[05] Brankar Tanda Tanya

33 4 0
                                    

Terbangun, aku mengerjapkan mataku yang terasa sangat berat. Aku melirik ke jam di dinding yang menunjukkan angka lima.

Perlahan tapi pasti, aku menurunkan kakiku dan tertatih-tatih dengan satu tangan yang memegang infus. Keluar dari ruangan demi mengeluarkan cairan dari kandung kemihku yang sudah penuh.

Kembali dari kamar mandi, aku menelusuri koridor rumah sakit yang cukup sepi.

Mungkin memang orang-orang belum membuka matanya karena sang Surya masih terlelap. Tapi anehnya, aku seperti Bocah yang penasaran.

Pintu ruangan satu per satu kubuka, aku hanya was-was jikalau di lantai ini hanya ada aku. Entahlah, mungkin pemikiran itu datang karena aku sering menonton film horror.

Cklak!

Aku langsung mengedarkan pandangan sedetik setelah mengucap kata 'permisi', dan kosong. Tak ada pasien di kamar ini.

Aku beralih ke kamar satunya, sama saja. Satunya lagi, sama saja.

Total ada enam kamar dengan tiga brankar dalam satu kamar. Tetapi sudah empat kamar yang kubuka pintunya, namun masih juga belum kutemukan sosok manusia.

Sepi.

Aku semakin merinding.

Menegak ludah, aku meyakinkan diri dan berdoa agar satu kamar terakhir ini memiliki penghuni. Setidaknya walau hanya satu orang, aku tidak benar-benar sendirian.

Cklak!

Pintu terbuka.

Hatiku lega ketika kulihat sesosok tubuh yang terbaring di atas brankar. Seorang Nenek-nenek yang sedang tertidur pulas.

Aku ingin menyapanya, tapi tidak sekarang. Mungkin nanti siang.

Kembali ke ruanganku, aku memutuskan untuk berdiri di depan jendela, menanti sang Surya terbit walau tak akan kutemui semburat jingga.

Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa pengendara motor yang bergelung dengan kabut pagi hari. Rumput-rumput terdiam, embun menetes membasahi tanah.

"Jika aku lompat sekarang, bukankah semuanya selesai? Ah, aku masih berharap semua ini hanya bunga tidur yang kebetulan bunga bangkai."

Cklak!

"Kalau mau lompat, lompat saja, tapi tunggu aku keluar dari ruangan ini. Aku malas dimintai kesaksian."

Aku menoleh, kudapati seorang Lelaki berbaju perawat memasuki ruangan tanpa permisi.

Aku menurunkan kedua tanganku perlahan, mengikuti gerak-geriknya yang mengambil nampan makanan dan meletakkannya di meja nakas. Ia kemudian berhenti bergerak ketika akhirnya mata kami bertemu.

"Siapa kamu?" tanyaku penuh selidik. Entahlah, aku hanya merasa dia bukan seorang Perawat biasa. Tak mungkin seorang Perawat berwajah sepahit ini, ia bahkan tak tersenyum saat masuk ke ruangan tadi. Lalu, ia berbicara seolah tahu segala hal tentang diriku.

"Seorang Perawat."

"Tapi--"

"Dengarkan aku. Kau adalah anak abu-abu. Artinya, kau belum bisa dikatakan bersalah, karena kebenaran yang sebenarnya belum terpampang jelas.

Intinya, kasusmu masih butuh penelitian lebih lanjut.

Seharusnya, Polisi dan Pengadilan masih perlu banyak waktu untuk menyelidiki yang sebenarnya. Tetapi itu hal yang tak berguna, buang-buang waktu dan tenaga.

Jadi, kepolisian akan mempermudahnya.

Kau anak sebatang kara, jadi kalau meninggal tidak apa-apa.

Maka kesimpulannya, mau kau benar membunuh keluargamu atau kau tidak melakukannya, kau tetap akan dihukum mati. Jika kau bertanya kenapa hukumanmu berubah, bukan dua puluh tahun penjara tetapi kematian, jawabannya ada di luar sana. Warga yang tak punya kerjaan itu membuat petisi untuk kematianmu."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now