[06] Brankar Tanda Tanya

23 4 3
                                    

Waktu terus berjalan, matahari seperti berpindah posisi memutari bumi dari timur ke barat -- Walau aku tahu sebenarnya bumi lah yang berotasi pada porosnya, dan matahari lah yang diam.

Segala hal tetap terjadi sebagaimana mestinya walau aku mencoba menghentikannya.

Aku hanyalah debu kecil yang tak punya pengaruh apapun. Bahkan ketika aku mati nanti, meregang nyawa sembari meneteskan air mata, angin tetap berhembus. Detik jam masih bergerak.

Angin senja menerpa, bohong jika aku berkata bahwa aku tak rindu warna hari menjelang malam.

Berjam-jam kemudian aku terus berdiam diri di dalam ruangan, sibuk memandangi kegiatan orang-orang di luar sana.

Melihat para wartawan yang istirahat sejenak di sekitar rumah sakit, melihat para pengendara motor yang gesit, pedagang kaki lima yang mengelap keringat dan sang Rembulan yang tenang di atas sana.

Tumben-tumbenan sekali orang-orang yang sering mendatangiku tak terlihat batang hidungnya. Aku bersyukur, tak perlu buang-buang suara untuk menanggapi mereka.

Tepat pukul sepuluh malam, aku menunggu lima menit sebelum menekan knop pintu.

Menjulurkan kepala keluar, mataku menjelajah mencari CCTV. Di pojok sana, aku melihatnya.

Syukurlah, apa yang perawat itu katakan bukan bualan semata. Terbukti dengan cahaya merah yang seharusnya memancar dari CCTV, raib entah kemana.

Aku pun akhirnya keluar dari ruangan setelah memastikan koridor aman. Berjalan memasuki pintu ruangan paling pojok, aku bergegas mengambil selimut, seprei, dan gorden yang ada.

Perawat itu hanya membantuku untuk pergi tanpa ketahuan CCTV, masalah lainnya harus kuatasi sendiri. Seperti cara melarikan diri tanpa lewat pintu depan.

Setelah mendapat selimut, seprei dan gorden, aku langsung keluar dari ruangan itu dan masuk kembali ke ruanganku. Kuletakkan begitu saja barang curian itu dan kembali mengambil barang yang sama dari kamar lain.

Maka jadilah tumpukan kain ini.

Aku mengelap keringat yang mengucur, ternyata melelahkan juga bolak-balik ruangan dengan kaki bekas tembakan.

Nyeri memang, tapi syukurlah tak terjadi pendarahan.

Hidrogel yang memplaster lukaku itu sepertinya bekerja dengan baik. Sempat terpikir aku merebahkan badan di atas brankar, tapi siluet jam yang kutangkap lewat ekor mataku, membuatku menepis pemikiran itu dan segera menyambung kain-kain yang ada.

Ya, inilah satu-satunya cara yang dapat kupikirkan. Aku akan membuat untaian kain ini untuk turun dari jendela. Karena kebetulan, area yang akan kuturuni ini sangatlah minim pencahayaan. Hanya ada pohon-pohon tinggi dengan kursi taman yang kosong melompong.

Kesempatan emas, bukan?

Cukup tangkas aku mengaitkan kain-kain tebal ini sampai menjadi satu kesatuan. Setelah selesai, aku pun melemparkannya keluar jendela, mengamatinya, dan ternyata masih kurang panjang.

Tapi sayangnya, tak ada lagi kain yang tersisa. Hanya kamar berisikan nenek-nenek tua itu yang belum kumasuki, karena memang aku tak mau ambil risiko. Bertemu dengan nenek-nenek akan menghabiskan cukup banyak waktu.

Nenek itu pasti kesepian dan akan mengajakku berbincang. Dan kalian tahu sendiri bahwa tak mungkin aku menolak hal semacam itu.

"Tapi kalau sejauh itu, aku tak mungkin melompat. Kakiku tak mungkin kuat menahannya," gumamku setelah melihat seberapa kurangnya kain yang kubutuhkan. Aku memang masih punya sisa lima hidrogel, tetapi itu untuk perjalananku nanti menuju Holydead.

Terpaksa, akhirnya aku pun keluar dari ruangan lagi. Berdiri di depan pintu ruangan nenek-nenek, menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan.

Aku menekan knop pintu, membukanya, "Permisi."

Seorang nenek yang sedang duduk di brankarnya segera mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku tersenyum canggung sambil menutup kembali pintu ruangan.

"Permisi, Nek. Saya pasien ruangan sebelah, mau ambil selimut dan seprei brankar untuk dicuci." Bohong, tentu saja.

"Ah iya iya, silahkan diambil. Tapi punya Nenek jangan ya, soalnya Nenek kurang tahan dengan hawa dingin," jawab sang Nenek sembari tersenyum, memperlihatkan dua giginya yang menghitam.

Aku mengangguk, "Baik."

Aku pun tanpa mau berbasa-basi lagi langsung menuju ke dua brankar yang kosong, melucuti seprei dan mengambil selimutnya.

"Kamu rajin sekali ya, Nenek jadi teringat cucu Nenek," celetuk sang Nenek tiba-tiba, membuatku menoleh ke arahnya.

Aku terkekeh sebagai formalitas, "Saya tidak tahu mau melakukan apa, Nek. Bosan di ruangan jadi bantu-bantu saja."

Selesai melipat selimut dan seprei yang kubutuhkan, aku hendak pamit kepada sang Nenek.

"Sudah mau pergi? Tidak mau mengobrol dulu dengan Nenek Tua yang kesepian ini?" tawar sang Nenek dengan senyumannya yang sampai menyipitkan matanya sendiri.

Benar dugaanku, bukan?

Aku pun memutar otak sebisa mungkin, mencoba memilih kalimat yang halus dan tidak menyakiti hati Nenek ini.

Membuka mulut, "Maaf Nek, saya harus bergegas memberikan selimut dan seprei kepada perawat. Mungkin besok saya bisa menemani Nenek."

Nenek itu mengangguk paham, "Baiklah kalau begitu. Ah tunggu, sebelum kamu pergi, Nenek ada hadiah kecil untukmu karena sudah menjadi anak yang baik. Tunggu sebentar ya."

Nenek itu membuka laci meja nakas, mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menyerahkannya padaku. Aku langsung membukanya saat itu juga, dan kulihat sebuah kalung berbandul unik tergeletak anggun.

"Itu adalah kalung milik cucu Nenek yang sekarang sudah besar. Dulu, Nenek berikan itu kepadanya karena dia sedang sakit, dan tak lama kemudian, dia sembuh," jelas sang Nenek dengan mata yang tertuju pada pemandangan di luar jendela.

Sepertinya dia sangat menyayangi cucunya, mungkin saat ini dia tengah mengenang kembali memori indah bersama sang Cucu.

Aku mengangguk, "Cucu Nenek juga pasti merindukan Nenek, dia pasti mendoakan yang terbaik untuk Nenek."

Nenek itu menoleh, memandangku dengan senyumya yang menenangkan. "Terimakasih, Nak. Senang mendengarnya. Nah, sekarang kamu coba pakai kalung itu, Nenek ingin lihat seberapa pantas kalung itu di lehermu."

Aku mengangguk, langsung kuambil kalung itu setelah kuletakkan kain-kain yang memenuhi tanganku. Aku memakainya. Kalung dengan bandul kedua tangan yang menengadah, berdoa. Kalung ini terlihat begitu suci.

"Sangat cantik. Kamu pasti akan jadi wanita cantik saat besar nanti, Nak."

Aku tersipu malu, kuucapkan terimakasih kepada Nenek baik hati itu, kemudian pamit keluar ruangan. Namun, langkahku terhenti tepat ketika aku hendak menekan knop pintu. Sebuah kalimat yang dilontarkan Nenek itu, membua nafasku terhenti sejenak.

"Berumur panjang lah, Nak."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora