[22] Metamorfosis : Larva

13 1 0
                                    

Berdiri ngeri menatap seonggok tubuh manusia yang terus menggeliat dalam balutan karung goni itu, badan El panas dingin.

Nako sudah berpamitan dua menit yang lalu, kepulan asap knalpot mobilnya masih terlihat setelah menurunkan benda ini. Benda yang El yakini adalah tahanan penjara yang sempat mereka kunjungi kemarin.

Sementara itu, sang Kakek asyik menyesap rokoknya dengan kopi hitam di meja bulat itu. Ia manggut-manggut, "Bukakan paketku," perintahnya dingin.

El menelan ludah, lantas mendekati pesanan sang Kakek yang masih terkapar di tanah. Berjongkok, dibukanya tali yang melilit pucuk karung dan detik selanjutnya El terperanjat bukan main.

Tahanan itu langsung berontak tak karuan ketika menyadari bahwa ia punya peluang bebas. El mundur beberapa langkah, membiarkan sang Tahanan yang kurus kering serta suram itu meloloskan diri dari karung.

"Mau kemana?" tanya Kakek kuburan datar yang langsung menghentikan pergerakan tahanan.

"Kau memesanku?" tanyanya balik yang langsung diangguki sang Kakek.

"Hargamu murah, jadi diam saja. Kau tahu aku siapa, kan?"

El mengernyit, siapa lagi jika bukan Penjaga Kuburan, tukang gali kubur, dan tukang pemberi perintah? Andai saja pertanyaan itu dilontarkan untuknya ....

"Kau siapa memang? Kenal saja tidak! Justru aku yang bertanya, kau kenal aku siapa?"

DOR!

"Argh!" pekik tahanan itu ketika sebuah peluru melesak masuk, memecahkan tulang kering kaki kanannya.

El pun terkejut, dia sama sekali tak melihat pergerakan tangan Pak Kuburan ketika menembak dan mengambil pistol. Benar-benar smooth, dan tak terlihat. Secepat itu!

"Banyak omong. Kau ini siapa lagi kalau bukan bocah ingusan yang tak bisa patuhi aturan?" getir Pak Kuburan sambil beranjak dari kursinya. Ia menghampiri tahanan yang sedang meringis kesakitan sambil memegangi kakinya yang terus mengalirkan darah.

"Kau kira, aku akan takut dengan ancaman kecilmu ini--"

DOR!

"Ancaman kecil untuk orang kecil sepertimu, itu sudah takaran pas."

Kepulan asap keluar dari dalam lubang tanah yang baru saja tertembak. Tahanan itu masih menahan nafasnya, tak berani mengoperasikan jantungnya yang hampir melompat saking kagetnya.

"El, ini tugasmu yang pertama. Latihanmu yang pertama. Semoga kau tidak mengecewakan," pungkas Pak Kuburan yang kembali melangkah menuju singgasananya.

El masih berdiri mematung, masih terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Baku tembak. Lagi.

"Bunuh dia, bagaimanapun caranya. Tapi harus dengan tangan kosong, itu peraturannya."

El menggulirkan matanya ke kanan dan ke kiri, mengamati dua orang yang begitu berbeda situasinya. Seseorang yang terduduk di tanah, dengan cairan yang El yakini adalah darah, mengalir membasahi bumi, menggenang. Dan seseorang lagi tengah berpangku tangan, sembari menyesap rokok. Keduanya memandang dengan penuh harap.

"Oh ayolah kau! Mana mungkin bocah sekecil ini bisa membunuhku? Kalau kau memang mau membunuhku, berikan aku seseorang yang pantas!" dumel Tahanan itu kepada Pak Kuburan. Melirik singkat, Pak Kuburan kembali fokus pada El yang masih sibuk berpikir.

"Kakek ... aku harus membunuh dia?" lirihnya. Bahkan El merasa sangat berat mengucapkan kata bunuh. Lantas mana mungkin dia bisa melakukan hal itu?

"Kalau kau mau tahu kebenarannya, kau harus membunuh dia," jeda sejenak, Pak Kuburan mengecek jam di dinding, "Waktunya dua belas menit," sambungnya menyeringai.

Sesuatu dalam diri El berontak, tepat ketika Pak Kuburan menyebutkan berapa waktu yang ia miliki.  Kepalanya seperti diserang ratusan peluru, begitu sakit sampai kedua lututnya menyentuh tanah.

El memegangi kepalanya, bisikan-bisikan itu terdengar.

"Waktunya tiga puluh menit ya. Bapak ada urusan jadi tidak bisa lama-lama."

Senyuman seseorang, rambut yang putih berkilau, dan bahu yang begitu besar nan gagah itu terbesit di kepala El. Seorang guru, Noah namanya.

"Kalahkan ingatanmu. Kau harus tahu bahwa sakit kepalamu itu tak nyata." Samar-samar El dapat mendengar seruan dari Pak Kuburan, namun semakin tenggelam oleh percakapan-percakapan tak jelas dalam otaknya. Hingga akhirnya menghilang dan..

PRANG!

El tersadar sepenuhnya. Matanya berkunang-kunang, ia tak bisa dengan jelas melihat wajah seseorang yang baru saja memukulnya dengan pantat wajan.

Sampai kemudian, pukulan kedua hampir saja mengenai wajahnya dengan telak, El menghindar. Ditendangnya dengan kuat kaki orang tersebut, membuatnya mengerang dan mundur seketika.

Ah, itu Tahanan.

El mengernyit, ditatapnya Pak Kuburan yang tertawa dengan spatula di tangannya. Jadi, Pak Kuburan lah yang memberikan wajan itu kepada Tahanan.

"Kau lawan anak itu dan menang, kuberikan kau kebebasan dan 1000HD." Sebuah tawaran yang menggiurkan berhasil Kakek itu lontarkan, langsung disepakati oleh Tahanan itu.

Jika digambarkan dalam kartun, tahanan itu sekarang berdiri dengan dramatis. Satu kakinya terkena tembakan, darahnya mengucur. Tubuh ringkihnya berdiri condong, seperti mau tersungkur. Tapi matanya bersinar-sinar, penuh hasrat ingin membunuh.

Akan ia lakukan apapun itu untuk dapatkan kebebasan.

Tanpa kata, tahanan itu langsung merangsak maju,  dua tangannya mengepal, siap melayangkan tinju kepada bocah dungu yang masih berdiri termangu.

El masih terperangkap dalam pikirannya, tak mampu keluar dari ingatan indah yang ia punya. Sampai kemudian sebuah siul membuyarkannya lagi. "Sampai berapa kali aku harus mengeluarkanmu? Waktumu tersisa sepuluh menit."

Sesuatu mengalir, berdesir-desir, bulu kuduk El berdiri. Sesuatu membangunkan hasratnya, kalimat penanda waktu itu, mengingatkannya pada seseorang.

"Bunuh 'kan?" tanyanya memastikan kepada Pak Kuburan. Tatapannya kosong, menatap lelaki ringkih yang hanya ingin kebebasan itu.

"Iya! Bunuh! Sepuluh menit! Tangan kosong!" sorak Pak Kuburan dengan penuh semangat.

El mengangguk, "Bunuh, tangan kosong, sepuluh menit!" ulangnya sebelum ikut merangsak maju dengan tiba-tiba.

Tahanan itu terkejut, tak menyangka menemui mata dengan hasrat membunuh yang kuat dari seorang bocah perempuan. Tapi tak ada waktu untuk memikirkan itu, ia harus lari!

Sebab, tak ada yang lebih mematikan, ketimbang niat membunuh.

El dengan dua tangannya yang terjulur ke depan, bersiap mencekik sampai mati siapapun yang ada di depannya saat ini. Pikirannya terus berputar, mengulang kalimat sama berulang, ia tak sadar. Sesuatu menguasainya.

Dapat!

Tangan El melingkar manis di leher sang Tahanan. Gadis itu diam, giginya bergemelutuk. Keduanya jatuh, tersungkur ke tanah dengan El di posisi atas.

Tahanan itu memukul-mukul lengan El. Ia berusaha melepaskan cengkraman El sekuat tenaga dari lehernya. Namun ia seperti bukan sedang berkelahi dengan sosok bocah, melainkan pria dewasa dengan kekuatan mumpuni.

"Le... pas..!" Terbatuk, tahanan itu mulai kehabisan nafasnya.

"Le... pas.. kan! Kau.. han.. nya.. lah! Bo.. cah!" Tahanan itu tak menyerah, masih sibuk bertahan melepaskan diri dari cengkraman. Ia tak berani menatap mata El, mata yang gelap. Hanya ada dendam dan kebencian disana. Bagaimana bisa seorang bocah memiliki mata seperti itu?

Duak!

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now