[01] Brankar Tanda Tanya

58 4 2
                                    

Aku terbangun. Terdiam.

Aneh, langit-langit itu tak seperti langit-langit kamar tidurku.

Lantas mengedarkan pandangan, aku mnyadari bahwa ruangan ini memang bukanlah ruanganku. Ruangan ini bukanlah ruangan yang menjadi tempat memejamkan mataku terakhir kali, karena tak mungkin di kamarku ada mesin EKG.

Aku menelan saliva, mencoba mengubah posisi menjadi duduk, tapi seketika nyeri yang tak tertahankan menyerang kepala.

Kembali terbaring, aku menatap langit yang sebenarnya. Lewat jendela di belakang kepala yang gorden putihnya berkibar-kibar, terbang terkena angin pagi yang sejuk.

Ah, apa ini sudah memasuki musim penghujan? Pagi-pagi sudah mendung saja.

Kemudian pandanganku beralih, kutatap intens selang infus yang seperti tengah menggigit pergelangan tanganku.

Apa ini mimpi? Pikirku.

Tak lama kemudian, suara sepatu wanita yang beriringan dengan suara roda-roda dan dentingan seng, terdengar semakin mengeras.

Aku menduga itu adalah Suster yang bertugas mengantar makanan. Benar saja, suster itu masuk dengan memegangi sebuah nampan seng yang sepertinya aku tahu apa isinya.

Sayur bayam dan seperangkat lauk pauk.

Bergelontang suara seng itu ketika diletakkan di atas meja nakas, Suster itu benar-benar tidak memiliki kelembutan. Aku kasihan pada anaknya nanti.

"Sudah tiga hari dan pasien ini belum juga bangun? Ckckck, Iblis itu kalau tertidur memang beda, ya."

Setelah berkata demikian, Suster itu langsung keluar dari ruanganku. Aku perlahan membuka mata, mengintip jika saja sang Suster belum pergi sepenuhnya.

Clear, Suster itu sudah pergi. Tapi kepergian Suster itu justru meninggalkan tanda tanya besar lainnya di kepalaku.

Kenapa pula dia memanggilku Iblis? Apa dia sebenarnya Saudara Ibuku?

Menggelengkan kepala, aku memutuskan untuk bangun perlahan dari posisi bebaring dan mulai meraih nampan makanan di atas nakas dengan satu tangan. Aku mengangkat penutupnya, lalu mengedipkan mata beberapa kali karena tak percaya dengan penglihatanku sendiri.

Tanganku gemetar meraih irisan buah yang kuduga adalah tomat. Memasukkannya ke dalam mulut, aku mengunyahnya perlahan.

Itu benar tomat.

Tapi mengapa warnanya hitam?

Dan mengapa warna sayur itu juga hitam?

Tanda tanya seperti kucing yang terus melahirkan anaknya. Kepalaku makin pusing dibuatnya.

Apakah ini delusi? Apa aku hanya bermimpi? Ah, benar. Mimpi!

Plak!

Aku menampar sendiri pipi kananku sampai rasanya kebas. Aku melotot.

Kenapa kebas? Kalau hanya mimpi bukankah harusnya aku tak merasakannya sampai se-nyata ini?

Nafsu makanku hilang seketika. Kututup lagi nampan makanan itu, dan kuletakkan kembali pada tempatnya. Lantas aku menyingkap selimut dengan satu tangan tentunya, karena satu tanganku harus berada di kepala ketika aku melakukan pergerakan.

Aku tak bohong, kepalaku memang pening sekali. Seperti ada sebuah peluru yang melesak secara ghaib di antara sel-sel otak.

Satu kakiku sudah menyentuh lantai ketika tak sengaja telingaku mendengar derap langkah yang semakin menguat. Aku mengurungkan niat, langsung menaikkan kakiku tadi dan menutupi diriku dengan selimut.

Pintu itu terbuka, tepat ketika aku baru saja memejamkan mata. Aku memilih untuk berpura-pura tidur.

"Eh? Aneh. Harusnya dia sudah siuman pagi ini. Kenapa dia masih terlelap?" Itu suara berat seorang lelaki, sama sekali tak familiar di telingaku. Tapi syukurlah, dia bukan Suster yang tadi, sempat kukira Suster itu kembali ke ruanganku karena mau melakukan pengecekan atau apapun itu.

Ah, tapi tadi kalau tidak salah dengar, bukankah langkah kakinya tidak seperti satu orang?

"Biarkan dia tertidur lebih lama, karena begitu dia bangun nanti, dia harus berhadapan denganku, Wartawan, dan Kuasa Hukum."

Benar apa kataku.

Barusan adalah suara lelaki lain, yang lebih berat dari suara sebelumnya, lebih dingin dan seperti tak punya perasaan. Bagaimana mengatakannya?

"Hei, kau benar-benar serius dengan ucapanmu tadi? Dia hanya anak berusia sepuluh tahun, loh. Dan dia juga bukan anak laki-laki, dia anak perempuan! Apa hukum tidak bisa meringankan sanksinya?"

Aku hampir saja mengernyitkan dahi saking bingungnya dengan kalimat yang baru saja salah satu lelaki itu lontarkan.

Jelas lelaki itu sedang membicarakanku. Tapi kenapa sampai membawa hukum dan sanksi? Apa aku melakukan kesalahan fatal? Tapi aku tak ingat apapun!

"Kau mengoceh apa? Anak ini adalah Anak Iblis. Mau dia waras atau punya gangguan mental, bukankah membunuh seluruh anggota keluarganya dengan begitu brutal telah mencabut notabenenya sebagai anak manusia biasa?"

Aku menelan saliva. Apa maksudnya? Mereka tidak mungkin sedang membicarakan aku, kan?

"Tapi kalau dia punya gangguan, tempat Rehabilitasi Anak dan Rumah Sakit Jiwa masih terbuka lebar!"

"Baiklah, aku akan bertanya padamu. Jika kau menjadi salah satu tenaga di Rehabilitasi atau di Rumah Sakit Jiwa, apa kau sanggup menormalkan seorang Pembunuh Gila?"

"Te-tentu saja! Tentu saja aku sanggup karena aku menguasai bidang itu dan itu adalah tugasku!" Aku dapat menangkap dengan jelas nada keraguan yang dipaksakan itu.

Helaan nafas berat dapat kudengar jelas. Lelaki satunya yang meladeni terdengar lelah. Tapi aku cukup setuju dengan lelaki itu, apa yang ia katakan sesuai dengan kenyataan yang ada.

"Pikirkan dari segi daerah ini. Apa masyarakatnya memiliki pola pikir sepertimu?

Masyarakat yang tahu kasus ini sudah jelas mengutuk anak ini. Jika Negara memasukkannya ke Rehabilitasi dan membiayai kewarasannya, lantas apa yang Negara dapatkan?

Apa dengan anak ini dimasukkan ke Rehabilitasi, akan menghapus dosanya yang fatal? Ketika nanti dia keluar dari Rehabilitasi pun, apa yang akan dia lakukan? Dia tak mungkin bisa bergaul dengan bebas sementara masyarakat mengingat jelas sejarah yang ia torehkan malam itu.

Tolong, Dakthes. Aku mengerti kau adalah anak yang penuh dengan perhatian dan kasih sayang, tapi bukannya kau juga harus mulai membuka mata pada dunia yang nyata? Dunia ini tidak sebaik itu."

Ah, ternyata namanya Dakthes, lelaki yang penuh dengan harapan dan kebaikan.

"Tapi-"

"Sudahlah, aku akan pergi merokok. Kau membuatku sesak," pamit lelaki satunya. Aku mendengar langkah beratnya yang mulai menjauh, sepertinya ia meninggalkan Dakthes di ruanganku.

"Ah ya, kau yang sedang pura-pura tidur, kita akan melakukan introgasi setelah aku menghabiskan satu batang rokok. Maka persiapkan dirimu."

Aku reflek langsung membuka mata ketika kalimat itu selesai dilontarkan.

Canggung, karena mataku bertemu langsung dengan Dakthes yang nampak begitu terkejut. Pintu ruangan tertutup, kami berdua masih terdiam.

Cukup lama, sekitar sepuluh detik sampai Dakthes akhirnya menghela nafasnya sembari menyisir rambutnya ke belakang. Ia tersenyum menatapku, "Sejak kapan kamu mendengar percakapan kami?"

"Tolong jelaskan kejadian malam itu."

"Ah, kau mendengar semuanya ya."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now