[26] Flashback

16 1 0
                                    

"Tolong ampuni! Ampuni saya, Pak Guru! Ampuni saya, Elvanna! Ampuni ayahmu yang selalu berbuat jahat kepadamu ini! Ayah berjanji akan--"

Crak!

Jeritan Ayah menggema, mengalahkan guntur yang berteriak di saat yang sama.

"K-kau!" Ayah nampaknya tak lagi kuat untuk melanjutkan kata-katanya, ia tak bisa memaki sebab rasa sakit yang ia terima. Aku meringis, ketika Pak Noah membawa lima jari tangan yang baru saja beliau rampas dari tubuh Ayahku.

"Lihat! Indah bukan?" girang Pak Noah setelah menata dengan rapi jari-jemari Ayah di sekitar lilin.

Aku hanya diam, memandang jemari yang tugasnya hanya untuk menyentil dahiku dengan begitu keras, yang tugasnya hanya untuk mengenggam rotan dan memukulkannya ke tubuhku.

Aku meringis.

Sementara Ayah, beliau menangis. Meruntuhkan harga dirinya sendiri sebagai seorang kepala keluarga, dan memilih untuk mengeluarkan air mata semena-mena. Rasa sakit yang ia derita pasti bukan main.

Pak Noah mendengarnya, mendengar isak tangis dari pria paruh baya itu. Memutar kepala, Pak Noah menaikkan satu alisnya kebingungan.

"Kau ini Bapak macam apa?" serangnya telak.

Pak Noah berdiri, sedangkan aku masih terbaring di lantai karena kepalaku yang amat sangat pusing. Berjalan mendekati Ayah, Pak Noah menundukkan kepalanya, memandang risih kepada Ayah. Melontarkan banyak makian, hinaan, cercaan, atau apapun itu yang bersifat menjelekkan lewat sorot matanya.

"Kau harus mati paling terakhir. Mari kita lihat, seberapa tersiksanya kau melihat keluargamu mati satu per satu."  Pak Noah meludahi wajah Ayah, benar-benar tepat di wajahnya.

Beralih ke Ibu, Pak Noah berjalan memutari kursi yang Ibu duduki.

"Bu, Ibu. Ibu tahu akan mati dengan gaya apa, kira-kira?" sarkas Pak Noah sembari membelai kulit lengan Ibu dengan mata pisaunya. Pak Noah kini telah berjongkok, persis seperti malaikat maut yang hendak menjemput jiwa targetnya.

Ibu menggeleng kuat, ia menjerit-njerit dari balik lakban sampai Pak Noah memutuskan untuk melepas lakban itu. Membiarkan teriakan melengking itu terdengar, membuat telingaku sedikit berdengung.

"AKU TAK PERNAH MELUKAI ANAKKU! TAK PERNAH SEKALIPUN! AKU MENYAYANGIMU, EL! JANGAN BUNUH IBUMU INI! AKU YANG MELAHIRKANMU--"

"HAHAHAHAHA!" tawa Pak Noah tiba-tiba saja pecah. Pisau lipat yang dipegangnya pun bergelontang karena lepas dari cengkraman. Guru Ipa itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, tertawa gila.

Cukup lama, sampai tawanya mulai mereda dan berganti dengan kekehan sinis yang mengejek.

Pak Noah menggerayangi lantai dingin, menyabet kasar pisaunya yang tergeletak dan CRAT!

Sebuah goresan menganga, menjadi gerbang terbukanya ribuan sel darah merah untuk lumer kemana-mana. Ibu menjerit tertahan, aku dapat melihat wajahnya yang menahan tangis sekilas ketika kilat menyambar.

"KENAPA DITAHAN? KENAPA? TERIAK SAJA! TAK AKAN ADA YANG PEDULI!" raung Pak Noah sembari terus menekan pisaunya, memperdalam sayatan vertikal di lengan Ibu. Memperdalam, semakin dalam!

Crrkk!!

"ARGHH!!"

Tak tahan lagi, akhirnya Ibu berteriak
Begitu nyaring, melengking dan menyayat hati. Siapapun yang mendengarnya akan iba, kecuali aku dan Pak Noah tentunya.

Aku memandang tepat ke arah mulut yang sedang terbuka. Seperti kaset yang diputar dalam DVD, kilas balik itu terpampang rapi.

Kilas balik, ketika Ibu berteriak tentang diriku yang mencuri uangnya, mencuri lipstiknya, memukul adik, membuat sang Kakak marah, memaki Ayah. Ketika mulut itu terus meneriakkan hal-hal yang bahkan tak kuketahui, dan bahkan tak pernah tercantum dalam pikiranku.

Ketika Ibu, terus tersenyum selagi aku disapa rotan.

Ibu menikmati, setiap kesakitan yang kuderita.

'Tapi dia Ibumu, orang yang melahirkanmu.'

DUAK!

Aku berdiri goyah dengan nafas terengah-engah. Pak Noah menatapku heran dari posisinya yang terduduk di lantai. Mungkin ia terkejut karena tindakanku yang terlalu tiba-tiba?

Bagaimana tidak? Kalimat itu muncul begitu saja, menusuk hati nuraniku dan menamparku dengan sangat kuat.

'Kau durhaka? Kau tak ada bedanya dengan mereka, yang senang melihat dagingnya sendiri tersiksa.'

Pemikiran itu berputar, mengambang, membuatku terpana. Aku sadar, sesuatu telah menguasai alam bawah sadarku. Sesuatu yang dimiliki semua orang, yang memang dipendam dalam-dalam.

Alter Ego.

Aku harus menyingkirkannya.

"Kenapa El? Kenapa hanya diam begitu? Bukannya kamu ingin menyingkirkanku, karena merasa 'durhaka'?"

Mataku melotot, bagaimana Pak Noah bisa tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini?

Pak Noah tersenyum getir, ia membetulkan posisi tubuhnya, dan kini berdiri dengan kedua tangan yang bertengger di kedua bahuku.

"Hubungan kita, lebih dari sekedar guru dan murid, El," bisiknya tepat di telinga kananku.

Kosong. Pikiranku kosong lagi.

"Duduk, perhatikan dengan baik, tendanganmu tadi bukan apa-apa, jadi akan kumaklumi." Senyum Pak Noah merekah, senyum paling tak mengenakkan yang pernah El lihat.

Namun, El mengangguk. Berjalan limbung mendekati lilin yang dikelilingi jari itu.

"Anak pintar," puji Pak Noah ketika El telah kembali duduk di tempatnya, bersila dan memperhatikan dengan baik pergerakan Pak Noah.

"Sekarang, kita kembali padamu, Nyonya. Tapi maaf sebelumnya, aku tak bisa lama-lama. Waktuku sudah berkurang banyak untuk basa-basi. Jadi tolong dimaklumi--"

CRAK!

"ARGH!!"

"--kalau tidak bisa pelan-pelan lagi."

Sayatan itu terbuka, sempurna, garis lurus yang sempurna!

Kini lengkap sudah kanan dan kiri lengan yang Nyonya, yang memiliki gelar lain sebagai Ibuku. Tapi aku bingung, kenapa lengan? Memangnya apa yang sudah Ibu perbuat dengan lengannya?

"Kini Bu, kau tidak bisa lagi mencekik anakmu secara diam-diam kala ia terlelap di malam gelap. Tak bisa lagi memberikan pil tidur dalam susunya demi memuaskan hasrat pembunuhmu."

Aku melotot, menatap tak percaya kepada Ibu yang semakin melemah.

"Maaf baru memberi tahu El, Ibumu punya sedikit gangguan jiwa."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now