[15] Mendekati Kebenaran

19 2 0
                                    

Malam begitu suram, pandangan gadis muda itu tertuju pada pemandangan di luar jendelanya. Liam tak mengijinkan El untuk bisa membuka jendela, alasannya adalah bahwa El masih belum bisa dikatakan stabil. Stabil soal apa? Tentu saja soal emosi.

Segudang tanda tanya bersemayam di pikiran kecil El, netra yang memandang serba abu-abu, hitam dan putih itu hanya pengalihan saja. Ia berbohong kepada Nako pasal suka dengan pemandangan. Nyatanya, berada di ketinggian membuatnya sedih. Membuatnya berandai-andai jika saja ia tak mengalami buta warna, alangkah indahnya lampu-lampu itu.

"Kita harus membicarakan ini, sekarang juga."

Suara itu cukup familiar di telinga El. Langsung dipandangnya jam yang menunjukkan angka satu. Sangat jarang ada penghuni gedung yang berkeliaran di jam-jam ini. Biasanya mereka sibuk bekerja atau sibuk tidur.

"Kenapa harus sekarang? Besok malam aku punya dua pesanan bintang tiga! Bayangkan jika aku tak dalam kondisi prima, aku kembali hanya tinggal nama!"

Itu Nako. El yakin seratus persen bahwa itu adalah Nako.

Mengendap-endap, El menempelkan telinganya ke pintu ruangan, berharap dapat mendengar lebih jelas apa yang sedang Nako bincangkan.

"Sudahlah! Sebentar saja! Tak sampai matahari terbit, aku yakin kita sudah di ruangan masing-masing! Kau punya dua belas jam untuk tidur, itu tak cukup?"

"Sialan kau Liam."

Langkah kaki keduanya semakin mengecil, pertanda keduanya semakin menjauh. Dugaan El, Liam dan Nako akan membicarakan sesuatu yang sangat serius. Dan seingatnya, Ceon pernah berkata bahwa dilarang ke rooftop di atas jam 12 malam. Karena jika kau kesana dan ternyata ada yang sedang berbincang, lalu kau ketahuan menguping walau tak sengaja, maka lehermu terputus.

Tapi itu pasti hanya melebih-lebihkan bukan? Mana ada hanya karena menguping, seseorang bisa memenggal kepala orang lain.

Maka berlandaskan pada pemikiran itu, El memasukkan kunci pintunya, memutar dan menekan knop pintu.

Ia harus tahu, apa yang dibincangkan orang-orang terdekatnya. Bisa saja berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam kepala El. Asal tidak ketahuan, El yakin tidak apa-apa.

---

"Berhubung kau adalah pengasuhnya, aku harus memberitahu semua seluk-beluk anak itu kepadamu, agar kau bisa mengarahkannya dan memperlakukannya lebih baik." Itu Liam. Syukurlah, ternyata pembicaraan keduanya baru saja dimulai.

"Lanjutkan." Dan itu Nako.

Keduanya duduk di pinggir rooftop, dengan kaki menggelantung di udara. El meringis, diberi dorongan sedikit saja, keduanya bisa langsung terjun bebas.

"Aku ditelpon malam itu, oleh seseorang yang menyebut dirinya ada di antara Elite dan Luxury. Dia sepertinya tahu, bahwa aku cukup mengenal orang-orang di tingkatan itu, makanya ia memperluas jangkauan." Liam menjeda sejenak, meneguk kopi instan yang kemungkinan dia beli di warung depan.

"Dia berkata, bahwa ada satu anak yang harus dimasukkan ke Eksperiment karena punya potensi sangat besar. Dia tak basa-basi, langsung memberiku nama dari anak itu, Elvanna Vilvfred. Tentu saja aku langsung tahu, berita sudah tersebar dimana-mana bahwa anak itu jadi buronan karena membunuh seluruh anggota keluarganya," sambung Liam.

"Lelaki atau perempuan?"

"Siapa?"

"Yang menelponmu."

"Bodoh, dia tentu saja pakai voice changer. Gila saja dia mengungkap jenis kelamin."

"Ah, maaf. Lanjutkan."

Mendecih, Liam mengejek tingkat kepintaran Nako.

"Dengan kecerdasanmu itu, kau yakin bisa naik ke Elite?"

"Diam dan lanjutkan."

"Seseorang itu juga berkata, bahwa dia akan memberi sesuatu kepada siapapun yang bisa mengasuh anak itu. Sesuatu itu benar-benar tidak akan terpikirkan olehmu, Nako. Dan aku pun tak akan memberitahunya, karena kemungkinan kau akan tergesa-gesa jika tahu hadiahnya."

Nako memutar bola matanya, "Aku tak peduli dengan hadiahnya, aku sukarela mengasuh El karena teringat--"

"Adikmu, kan?" tebak Liam telak.

Nako diam, "Kau sadar itu."

"Tentu saja, kau yang lupakan siapa sebenarnya aku. Memang sudah jarang beraksi sih, jadi seperti tak ada kekuatan. Wajar jika kalian mulai meremehkanku." Liam terkekeh kecil. Kekehan sindiran, tentunya.

"Lanjutkan."

"Sebenarnya aku bisa saja mengasuh anak itu, tapi kupikir, aku tak terlalu suka anak-anak dan hidupku sekarang pun sudah nyaman. Jadi, kulimpahkan saja kepada yang lain. Tapi tetap saja, orang itu ingin aku tetap mengawasi El dengan mata kepalaku. Bukan mengasuh, tapi mengawasi progress-nya. Aku mengiyakan permintaan dia, bayarannya cukup besar. Aku tak tahu siapa sebenarnya El itu, tapi dia sangat berharga."

"Lanjutkan."

"Orang itu pun memberi tahuku tempat dimana aku harus menjemput El. Di Jembatan Veins. Setelah itu aku tak pernah berkomunikasi dengannya lagi. Tapi ia bilang, aku bisa menghubunginya lewat nomor yang sama, kapanpun itu, asal berhubungan dengan El."

"Lanjutkan."

"Nah, di bagian ini aku bingung. Para petinggi memberi tahu ciri-ciri anggota baru yang harus direkrut, 'kan? Anak yang gila, ambisi gila, pemberani, intinya gila. Tapi ketika aku bertemu dengan El, sangat berbanding terbalik dengan apa yang kubayangkan."

"Aku berpikir, bahwa latar belakang membunuh seluruh keluarga dan menjadi buronan, akan membuat aura anak itu menjadi kejam, dan semacamnya. Tapi ketika dia di depan mataku, dia seperti anak polos yang tak tahu apa-apa, dia seperti anak yang tersesat di pasar malam mencari Ibu dan Ayahnya. Aku bingung, bertanya-tanya. Aku bahkan tak merasakan keburukan sedikitpun dari dirinya. Jadi bagaimana mungkin dia seberharga itu?"

"Lantas aku menelpon orang itu, menanyakan semua kebingunganku. Dan saat itu, kau tahu jawabannya apa? Dia hanya menyuruhku untuk mengasuhnya, apapun yang terjadi. Aku harus membentuknya, karena kalau tidak, seluruh anggota Experiment akan berakhir. Dan yang  lebih parahnya lagi, tak hanya anggota Experiment, tetapi bahkan anggota keluarga Experiment juga akan dihabisi olehnya."

"Gila. Orang gila," gumam Nako tak percaya.

"Benar! Dia adalah orang gila! Maka dari itu, aku lebih senang menganggap El sebagai malapetaka, daripada anggota baru."

"Hei, kau sedang apa, bocah?"

Terkejut, El hampir saja berteriak ketika bisikan itu terdengar tepat di telinganya.

"Hei Liam! Nako!"

Liam dan Nako tersentak, langsung menoleh ke belakang dengan tatapan marah.

"Sepertinya kalian berbicara empat mata, enam telinga!"

---

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now