[13] Rumah Baru

15 2 0
                                    

"Aku pergi dulu. Sekali lagi aku minta maaf karena kamu mendapat ruangan yang sebegitu tinggi ini." Nako mengamati sekeliling ruangan, lantas berhenti pada keadaan kaki El yang memprihatinkan. Sebenarnya ia berniat untuk mencari obat pereda nyeri, tetapi apa daya jika telpon genggamnya terus berdering. Pertanda tugasnya sangat penting dan dalam keadaan genting.

"Tidak apa-apa Kak Nako, aku sangat suka tempat ini. Bisa lihat pemandangan indah setiap saat," terang El mencoba menenangkan.

"Kamu yakin tidak mau bertukar ruangan denganku? Sampai kakimu sembuh saja." Nako masih saja bersikeras, entah sudah berapa kali ia menawarkan hal yang sama.

Dan El menggelengkan kepalanya untuk kesekian kali. Jika Nako keras kepala, maka El lebih dari itu.

"Tidak Kak, aku tidak mau merepotkan lebih jauh lagi. Terimakasih sudah menawarkan dan sudah memberi bantuan."

"Kau yakin--"

Dering telepon genggam kembali terdengar, Nako gelagapan. Segera diambilnya handphone yang hanya sebesar telapak tangan itu, handphone jadul dengan angka dan logo Nikoa.

"Ya sudah, aku pergi dulu El. Jaga dirimu baik-baik. Besok akan kubawakan perabotan yang kau butuhkan, jadi kuharap kamu tak bangun terlalu siang."

Tepat setelah anggukan El, Nako segera hengkang dari ruangan. Menjawab telepon dari orang yang sama.

"Iya! Iya! Aku akan kesana! Tak sabaran sekali! Kau remehkan aku, ya?"

Suara Nako mulai menghilang, pertanda keberadaannya mulai menjauh dari posisi El.

Menyadari itu, El pun mengambil nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Ia merasa lebih tenang sekarang. Bukan apa-apa, setidaknya dia bisa istirahat tanpa merasa terlalu membebani orang lain.

Memundurkan tubuhnya, punggung El bersandar pada tembok lembap. Netranya pelan berputar dari kanan ke kiri, menyisir seksama ruangan yang kedepannya akan menjadi rumah baru baginya.

El menduga, seseorang yang pernah tinggal di ruangan ini adalah seorang pria penyendiri atau pria jorok. Terbukti dengan botol-botol minuman yang berserakan dan bungkus makanan yang bertumpuk di satu sisi ruangan. El mengira-ngira, apakah televisi itu berfungsi?

---

"Kamu anak yang kuat El. Luka tembak seperti itu, bahkan orang dewasa pun akan menangis jika mengalaminya. Tapi kata Nako, kamu sama sekali tak terlihat kesakitan?" celoteh seorang Pria di seberang sana yang sibuk meracik obat. Jubah putih dan stetoskop di lehernya tampak usang, namun harus El akui bahwa pelayanan yang ia berikan cukup memuaskan.

El menggeleng, "Saya juga tidak tahu Pak Dokter, tapi awal-awal, lukanya sangat sakit sampai rasanya saya ingin menjerit. Tapi--"

"Benar, tapi lama-kelamaan rasa sakit itu menghilang entah bagaimana, 'kan?" Dokter itu berbalik, tersenyum menatap El yang duduk manis di brankar.

"Itulah yang namanya toleran tubuh. Memang tak semua orang mengalami, tapi ada faktor yang menimbulkan sistem toleran tubuh itu aktif. Seperti kamu. Rasa sakitmu hilang karena kamu sudah terbiasa, atau karena ada rasa sakit yang lebih dari sekedar luka tembak itu, atau ada sesuatu dalam psikologismu yang membuat pikiranmu teralihkan," sambung Dokter sembari berjalan mendekati El.

El mengangguk, percaya begitu saja atas apa yang Dokter katakan. Toh, Dokter itu kan bukan orang bodoh.

"Nah, ini salep dan obat yang harus rutin kamu oleskan dan minum. Kurangi pergerakan, jangan sampai lukamu itu kembali terbuka."

---

"Bagaimana tadi kata Dokter? Lukamu baik?"

"Tentu saja tidak, Kak. Banyak pergerakan yang kulakukan kemarin, jadi luka semakin buruk. Tapi Pak Dokter sudah memberi obat dan salep untuk kupakai. Katanya jika benar rutin, aku akan sembuh satu minggu lagi."

"Ah syukurlah kalau begitu."

"Kak, telponmu berdering?"

"Ah benar. Bisa tolong angkat telponnya El? Jalannya ramai."

El mengangguk, diraihnya telpon genggam yang melongok dari saku baju Nako. Ditekannya tombol 'oke' dan seketika El langsung menjauhkan telpon itu dari telinganya.

"Oi! Nako! Sialan! Kenapa kau lama sekali mengangkat telpon, huh?"

Itu Liam.

"Aku sedang menyetir!" pekik Nako.

"Eh? Bukankah kau harusnya tidur di ruanganmu? Tak mengantuk memangnya?"

"Peduli apa kau! Katakan! Kenapa kau meneleponku?"

"Ah sial! Tak ada sopan santun sama sekali!"

"Kau yang mulai!"

"Baiklah, baiklah. Aku mint maaf. Sekarang kau dimana?"

"Aku di jalan, habis mengantar El ke Rumah Sakit. Sekarang aku sedang menuju toko perabotan, ruangan El harus diisi, 'kan?"

"Ah sial! Ternyata kau bawa dia ke Rumah Sakit! Kukira dia melarikan diri! Sialan, sia-sia aku khawatir. Ya sudah, pulang ke rumah sekarang. Tak perlu beli perabotan, ruangannya sudah siap!"

"Apa maksudmu?"

"Pulang!"

"Hei--"

Telepon terputus.

"Ah orang itu, mentang-mentang berpangkat leader dan umurnya paling tua, dia semena-mena. Bukan Ibu, bukan Bapak, banyak tingkah," dumel Nako dengan ekspresi greget di wajahnya. Pasalnya toko perabotan itu sudah ada tepat di depan mata mereka. Keduanya hanya perlu turun dan kemudian memilih apapun di dalam sana.

"Kamu tak mau beli apapun, El?" Lembut sekali, El terkejut dengan perubahan ekspresi dan intonasi Nako yang tiba-tiba.

"A-ah sepertinya Kak Liam akan lupa membeli pemanggang roti, bisa kita turun untuk beli itu Kak Nako?"

Mendengar permintaan El, mata Nako seketika berbinar-binar. Wajah berseri yang sedari tadi ia pasang dan sempat hilang karena telpon Liam, kembali lagi.

"Ya sudah! Ayo kita turun! Kita beli pemanggang roti, dan perabotan lain yang mungkin Liam lupakan!" El mengangguk setuju.

---

"KAMI PULANG!" teriak Nako tepat ketika kakinya melangkah melewati pintu utama. Semua orang menoleh, terutama Liam yang sedang memberi instruksi kepada beberapa orang asing di sekitarnya.

"Kenapa kau baru pulang?!" tekan Liam sembari melangkah mendekat. Wajahnya menyiratkan ekspresi marah.

"Tenang-tenang! Kau ini kenapa, Leader? Tidak biasanya kau marah hanya karena hal sepele seperti ini?" Nako meringis, merasa heran dengan sikap Liam yang baginya aneh.

Tiba-tiba saja, Liam mencengkram kuat pergelangan tangan sambil membisikkan satu kata di telinga Nako. Sekejap, wajah Nako pucat.

Keduanya kemudian pergi meninggalkan gedung, pergi entah kemana.

---

Plak!

"Apa yang kau lakukan kemarin?!" bentak Liam dengan satu tangannya yang mengambang di udara. Nako memegangi pipinya yang merah, tak menyangka Liam akan menamparnya sedetik setelah mereka sampai di samping gedung.

"Memangnya apa yang kulakukan?!" lawan Nako dengan matanya yang mengkilat-kilat, menyiratkan kepedihan, kebingungan dan kemarahan di saat yang bersamaan.

"Kenapa kau menaruh El di ruangan itu?! Sial! Hanggo datang karena si Putih itu mengadu. Ia hampir saja mencekik lehermu jika aku tak memohon, meminta maaf padanya!"

"Kak Hanggo datang?" beo Nako tak percaya.

"Kau sudah tahu bahwa ruangan itu sangat kramat bagi dirinya, 'kan! Walau dia tak lagi menjadi anggota kita, dia tetap hidup! Dan kau tanpa menggunakan otakmu itu, malah memasukkan anak baru ke ruangannya! Bagaimana jika Hanggo tak menerima pernyataan maafku dan memburumu? Mati! Kau akan mati!"

Nako terdiam. Ia mencoba meresapi kata demi kata yang Liam ucapkan.

"Aku mati pun apa pedulimu? Lagi pula, aku bukan gadis 4 tahun lalu yang kau pungut dalam keadaan ringkih dan perlu perlindungan. Aku kuat, Liam. Jika Kak Hanggo memburuku, bisa jadi dia yang mati. Kau tak perlu--"

Krek!

"SIAPA DISANA?!"

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now