[17] Metamorfosis : Telur

15 2 0
                                    

"Saya tidak mau," ikrar El mantap. Sinar matanya menyatakan bahwa ia sedang tak main-main. Ia serius dengan ucapannya.

Dan disaat Liam menyadari hal tersebut, lelaki itu panik. Ia kembali teringat kalimat ancaman dari 'seseorang' dibalik telepon itu.

'Experiment akan hancur, jika anak itu hancur.'

Nako yang paham dengan ekspresi Liam, langsung bergerak mendekati El. Kedua tangannya bertengger di bahu mungil gadis itu, menumbuk paksa netra yang nampak kusam.

"El--"

"Lepaskan, Kak Nako. Saya benar-benar tidak mau bergabung dengan organisasi dan divisi ini. Jika saya membunuh orang walau dengan kriteria dan pesanan tertentu, lantas apa bedanya saya dengan orang-orang di luar sana yang menginginkan kematian saya?"

Nako tersentak, kedua tangannya luruh dari bahu El.

"Apa maksudmu?"

"Kak Nako tahu, alasan lain yang membuat saya nekat kemari dengan usaha sendiri? Karena perawat itu berkata, bahwa banyak orang mulai mengeluarkan petisi untuk mengakhiri saya. Mereka menganggap saya aib.

Hukuman penjara hanya sementara.

Pak Polisi itu bilang, rakyat berada di atas hukum. Jadi, walau dalam undang-undang, saya hanya dijatuhi kurungan penjara, tapi jika orang-orang ingin saya mati dengan alasan pembawa sial, maka saya akan dijatuhi hukuman mati.

Maka karena saya tak mau mati tanpa tahu kesalahan yang saya buat itu nyata atau tidak, saya kemari demi mencari pembenaran. Jika benar saya membunuh keluarga saya, saya akan kembali ke tangan Polisi dengan sukarela.

Jadi tolong, Kak Liam, Kak Nako, saya hanya butuh dibantu untuk mencari Guru saya. Dia lah yang ada di Tempat ketika insiden itu terjadi, dia kuncinya."

Nako dan Liam tercenung, tak pernah sekalipun keduanya bertemu anak dengan pemikiran seluas ini. El tahu semuanya, El tahu risiko yang harus ia tanggung, El berani melangkah.

Apa itu alasan 'seseorang' menganggap El sebagai aset berharga? Karena jika ditempa, anak ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa.

"Baik, kami akan membantumu."

---

"Kemana kita Kak Nako?" tanya El dari kursi belakang. Matanya masih sipit, baru saja terbangun dua puluh menit yang lalu. Pembicaraan yang cukup panjang semalam, membuat El kelelahan.

"Kita akan memulihkan ingatanmu," jawab Nako masih fokus melihat jalanan.

"Bagaimana memangnya cara memulihkan ingatanku itu, Kak? Dokter di kotaku bahkan tak tahu caranya," bingung El sembari sibuk membenarkan posisi duduknya.

"Kamu akan tahu jika kita sudah sampai di tempatnya," jawab Nako dingin. Perbincangan mereka semalam tak berakhir dengan baik dan buruk, hanya tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Untuk perasaan, tak ada yang tahu. Maka merunut dari hal tersebut, El memilih diam, mengamati sekeliling dan memaksa diri untuk cukup dengan jawaban Nako.

Pagi yang cukup ramai. Atau mungkin selalu ramai? Entahlah, El tak tahu itu. Hidupnya terkunkung dalam gedung selama ini. Berjalan keluar pada saat-saat tertentu saja karena kondisi kaki yang tak memungkinkan.

Sebuah baliho yang begitu besar menarik atensi El.

"NIKMATI TAMAN KOTA YANG BARU! SEGARKAN DIRI! MASYARAKAT SEJAHTERA!"

Sorak sorai tetiba saja terdengar, gemuruh drumband memeriahkan suasana. Ada di sisi kiri jalan, gerombolan manusia yang totalnya mungkin ratusan, mengacungkan bendera kecil-kecil sembari merekam moment Bupati yang baru saja menggunting pita merah, tanda resminya taman baru itu.

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang