[24] Flashback

10 1 0
                                    

Seorang pria dengan perawakan tinggi gagahnya dan rambut putih yang mengkilap mencolok mata itu memasuki ruangan. Itu Pak Noah, guru IPA yang telah menjadi sahabatku akhir-akhir ini.

"Oh halo El!" sapanya ramah sembari tersenyum.

Aku mengangguk ragu, bingung mengapa Pak Noah terlihat bahagia.

"Anu Pak, kenapa--"

"SIALAN! KAU SIALAN! ADA APA? KENAPA KAU MEMPERLAKUKAN KAMI SEPERTI INI?" jerit Kakak yang masih terbaring di lantai. Pembuluh darahnya menonjol di tenggorokan. Matanya merah, menahan tangis karena takut dan kebingungan yang bercampur aduk.

Pak Noah melirik sekilas, memandang rendah Kakakku yang masing mencoba melepaskan diri.

"El? Kenapa kau lepaskan lakbannya? Dia 'kan jadi berisik." Sengit sekali nada yang terdengar dari kalimat itu.

Aku terdiam. Aku tak mengerti hal apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Hanya mataku yang bergerak, mengantar langkah Pak Noah menuju sebuah kursi singgasana. Aku pun tak tahu kursi itu punya siapa, dan sejak kapan ada disana.

Pak Noah sudah duduk berjigang di singgasananya, menggunakan satu tangannya sebagai tumpuan dagu.

"Kenapa masih disana? Duduk, bersimpuhlah di sana." Pak Noah mengangkat tangannya, menunjuk lantai keramik yang ada di depannya.

Namun anehnya, aku segera melakukan perintahnya. Berjalan sedikit sempoyongan karena kepalaku tiba-tiba pusing.

Kini aku telah bersimpuh, menghadap Pak Noah dan membelakangi kelima anggota keluargaku. Mendongakkan kepala, aku membuka mulut, hendak melontarkan pertanyaan.

Namun,

"Kamu sendiri yang menjelaskan betapa kamu membenci keluargamu, El. Jadi, biar Bapak bantu singkirkan mereka, biar belajarmu semakin efektif."

Penjelasan itu singkat, saking singkatnya aku sampai tak mengerti harus merespon apa. Pak Noah tersenyum, melihatku yang kebingungan dengan perkataannya.

"Hmm, ya sudahlah--"

"ORANG GILA! KAU MAU MEMBUNUH KAMI?"

Semua orang di kamarku, termasuk aku, langsung mengalihkan perhatian ke arah Kakakku yang terbaring di lantai. Ia telah berlinangan air mata, dengan wajah memerah padam karena kulitnya yang tipis sebab skincare abal-abal.

Sekali lagi, ia berontak, berusaha melepaskan dirinya dari bebatan tali di kursi.

"El."

Panggilan itu membuatku menoleh, menatap kembali ke arah Pak Noah yang memasang tampang jijik.

"Bantu dia ke posisinya, pasangkan lagi lakban di mulutnya," perintah Pak Noah mutlak.

Tanpa bantahan sedikitpun, aku berdiri. Berjalan perlahan mendekati Kakakku yang memberiku tatapan marah.

"Berani kau pasangkan lakban itu! Mati kau!" ancamnya dengan mata melotot, tanda tak main-main.

Namun aku tak mengindahkannya, kalimat ancaman yang sering kali kudengar dan sampai membuatku kesulitan tidur di malam hari itu, kini terdengar seperti dengungan nyamuk.

Menganggu, harus dibunuh.

Mengambil lakban yang tergeletak tak jauh dari Kakak, aku kembali memasangkannya ke mulutnya walau sangat susah. Mengembalikan kursi yang ia duduki ke posisi sedia kala, aku kembali bersimpuh menghadap Pak Noah.

Entahlah, sekarang, hanya Pak Noah yang ada di pikiranku.

Pak Noah tersenyum, membuatku merasa sangat bahagia. Pak Noah bangga padaku, aku yakin itu.

"El, kamu masih ingat bahwa kita akan meningkatkan nilaimu dengan membuat efisiensi belajarmu tinggi, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Nah, kalau begitu, kita harus menyingkirkan keluargamu dahulu. Kamu senang dengan hal itu, 'kan?"

Ragu, aku reflek kembali menoleh ke belakang, menatap satu per satu pasang mata yang selalu bersamaku di rumah ini. Selalu bersama, yang tak bahagia.

Aku menatap Ayah, yang hanya marah-marah ketika kami berpapasan. Bahkan sekadar cicak yang jatuh dan kering di pojokan pun, menjadikannya naik darah sampai bawa rotan untuk memukulku habis-habisan.

Kemudian aku beralih pada Ibu, yang selalu mengadu pada Ayah juga menyalahkanku atas segala perbuatan yang bahkan aku tak tahu. Selalu memfitnah, sampai aku kembali berakhir penuh memar di sekujur badan. Sampai Ayah berhenti bernafas tak beraturan, dan menjatuhkan rotan andalannya.

Adik. Dia satu-satunya orang di keluarga ini yang paling sedikit memberiku luka. Mungkin karena ia kasihan padaku, atau karena ia memang belum mengerti bahwa peranku di keluarga ini adalah sebagai 'Samsak Gratis'.

Bergulir pada Kakak keduaku, lihat, ia bahkan langsung memalingkan wajahnya ketika netra kami bertemu. Sebegitu bencinya dia kepadaku, sampai bertatapan pun tak mau.

Terakhir, Kakak tertuaku. Yang kini menatapku sengit, tajam, penuh kebencian. Entah apa yang telah kuperbuat padanya, sampai ia menjadi sangat tidak menyukaiku. Tatapannya tak pernah berubah, seperti melihat kotoran hewan yang berjalan di rumah, mengotori setiap sudut ruangan.

Aku menunduk dalam, melempar pandangan ke luar jendela. Hujan begitu semangat menghujam bumi, membasahi setiap inci ciptaan yang maha kuasa dengan sesekali guntur menyapa.

"Kamu pasti merasa bingung dengan perasaanmu. Apakah kamu akan benar bahagia jika membunuh mereka? Atau malah kamu akan sedih? Jawab aku, kamu pasti sedang menimbang hal itu'kan?"

Pak Noah beranjak dari kursi singgasananya, langkah sepatu pantofelnya terdengar semakin mengeras sementara aku masih menatap jendela dengan pandangan yang terpaku pada tiang listrik di sebrang jalan sana.

Berhenti, dapat kurasakan keberadaan Pak Noah yang berada di depanku.

"Setidaknya keadaan tak akan sama, dengan ketika kamu masih melihat mereka, bernafas dan memakimu," bisik Pak Noah tepat di telingaku.

Buku kudukku berdiri, sensasi merinding membuatku tak berani menoleh dan menatap Pak Noah. Aku merasakan sesuatu yang begitu buruk, begitu jahat sedang mengintai.

Klotak! Klotak!

Berjalan menjauh, bunyi pantofel yang diiringi kekehan sinis itu memenuhi atmosfir ruangan.

"Anak membenci orang tua. Adik membenci Kakak. Dan Kakak membenci adik. Itu yang sedang terjadi di lingkup kalian, keluarga lengkap yang berantakan. Sungguh menarik."

Akhirnya, aku memberanikan diri menoleh, namun Pak Noah tak kudapati duduk di singgasananya. Bingung, aku pun mengedarkan pandangan.

Dan kudapati Pak Noah yang kini berposisi di belakang adikku. Kedua tangan kekarnya melingkar di leher adikku dengan manis, dengan satu tangan memegang erat pisau lipat.

Pak Noah tersenyum, sangat lebar sampai matanya sipit.

"Boleh kumulai pertunjukannya, wahai Muridku?"

Seringai, pertama kali akumelihat seseorang dengan seringaian yang terlihat begitu menyeramkan. Benar-benar seperti hewan buas, yang bersiap menyantap makannya.

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now