[25] Flashback

12 1 0
                                    

Aku menenggak ludahku sendiri. Begitu ngeri ketika tiba-tiba saja pisau lipat itu ditodongkan ke leher adikku yang melotot, menahan nafasnya karena takut kulitnya tergores.

"Ah, maaf. Harusnya jangan dia dulu ya. Baik, kita ke Ayahmu dulu." Pak Noah melepaskan lengannya dari leher Adikku, membuat bocah laki-laki yang masih belia itu akhirnya dapat menarik nafas lega.

Berjalan mendekati Ayahku yang memang sudah berkeringat dingin sedari tadi, Pak Noah terus saja membuka tutup pisaunya. Membuat atmosfir semakin tegang dengan dentingan antara besi dan besi itu.

"Kau tahu, seberapa benci anakmu ketika kupaksa ia bercerita tentangmu?" bisik Pak Noah di telinga Ayah.

Jelas, Ayah menggeleng kuat dengan mata melotot menatapku. Ia terus memaksa berbicara di balik rekatnya lakban di mulutnya, tapi aku selalu tahu, apa kata yang tersamarkan itu.

Aku menundukkan kepala dalam, tak sanggup untuk terus menatap Ayah yang jelas-jelas sedang menghardikku habis-habisan lewat tatapannya. Lewat kedua bola matanya yang hampir keluar itu.

"Tanganmu ini tangan ajaib, Pak. Tangan yang selalu bisa membuat anak sekecil itu menangis tersedu-sedu. Tangan yang membuat anak sekecil itu tak bisa bergerak leluasa karena lebam bertebaran di tubuhnya," oceh Pak Noah.

Aku memutuskan untuk kembali melihat ke arah mereka, ke arah Pak Noah yang kini telah bersimpuh di depan Ayah.

Pak Noah mendongak, menatap Ayah dengan raut wajah yang tak lagi bisa dijelaskan. Kemudian secara perlahan, jemari Pak Noah mendekati kedua kaki Ayah yang terikat pada kursi.

Menari-nari disana, membuatku bertanya-tanya. Kira-kira apa yang tengah Pak Noah lakukan saat ini.

Namun, tanda tanya dalam pikiranku ternyata tak bertahan lama. Karena detik berikutnya, erangan tertahan menggema di ruangan. Darah muncrat ketika pisau lipat berhasil memisahkan satu kelingking dari kaki ayah.

"Aduh, tanganku terpeleset. Maaf, Pak."

Pak Noah terkekeh, memandang bergantian dengan senyum merekah ke arah anggota keluargaku. "Tenang saja, tidak perlu antusias seperti itu. Tidak perlu iri, nanti kalian dapat gilirannya, kok," ujarnya.

Aku, lagi-lagi hanya mematung. Tak tahu harus berbuat apa. Padahal kedua tangan dan kakiku sama sekali tak terikat tali, sangat bebas hingga bisa menendang Pak Noah dan sedikit menghambat apa yang dilakukannya.

Tetapi, kenapa aku tak mau bergerak?

Tetapi, kenapa aku enggan?

"Sabar ya, Pak. Satu-satu jarinya, nanti pasti kepotong semua--"

Pats!

Lampu mati.

Hening sejenak, untuk beberapa detik, orang-orang dalam ruangan ini serasa diambil kesempatannya untuk bernafas.

"El, kamu tahu letak lilin di rumahmu, 'kan?"

Aku merinding mendengar suara bariton yang begitu dingin, sepertinya Pak Noah jengkel. Seketika memori kemarahan Pak Noah terputar dalam ingatan, membuatku semakin was-was.

"EL!" bentaknya kasar.

Aku terkejut, tak pernah kusangka Pak Noah akan membentakku. Tak pernah kusangka, ada nada lain yang bisa dikeluarkan oleh guru yang selalu berbicara lembut itu.

"I-iya, Pak," jawabku gagu.

"Ambil," datarnya.

Tanpa basa-basi, aku segera bangkit, berlari menuju pintu dan keluar dari ruangan. Menuruni anak tangga dan menuju dapur, aku tak lagi takut dalam kegelapan, tidak setelah merasakan tegangnya suasana di kamarku tadi.

Lilin ... Lilin ... Lilin!

Dapat!

Aku langsung bergegas menutup semua laci, berlari hingga kakiku tiba-tiba berhenti bergerak tanpa aba-aba dariku.

Pintu keluar rumah.

Detik itu juga, seribu pertanyaan bercampur pernyataan menghujami pikiranku. Berputar, berebut tempat untuk kuambil sebagai keputusan.

Hingga beberapa dari mereka, menempati posisi paling atas.

'Kau harus melarikan diri!'

'Keluar dan cari bantuan!'

'Pak Noah itu monster!'

Aku mengangguk yakin, mengambil tiga pemikiran itu dan berjalan mantap mendekati pintu. Mengenggam erat knopnya hingga hampir menekannya.

'Lalu jika mereka selamat, kau akan kembali ke neraka lagi, dong?'

Benar apa katanya. Rupanya alasan sedari tadi aku tak bisa atau tak mau menyelamatkan keluargaku, tak mau memberontak kepada Pak Noah, adalah bukan karena aku takut dengan Pak Noah. Melainkan takut pada keluargaku.

Sebuah kelegaan dan sedikit kesenangan, kuakui, memang terbit dari lubuk hati paling dalam, ketika kulihat ekspresi takut mereka.

Berputar, aku melepaskan genggamanku pada knop pintu, dan berjalan menaiki anak tangga.

"Nyalakan," ketus Pak Noah ketika aku memasuki kamarku.

"Baik, Pak."

Aku mengambil satu batang kotek api dari kotaknya, memberikannya gaya gesek pada bagian samping kotak dan sebuah api kecil muncul, berpendar-pendar hingga merambat ke sumbu lilin.

"Aku tak akan basa-basi lagi, kalian semua akan mati, sesuai dengan apa yang kalian perbuat," ikrarnya mantap.

Kemudian, jeritan Ayah kembali menggelegar, kali ini benar-benar jeritan. Sebab lakban di mulut Ayah telah dilepas, entah kapan. Pak Noah terkekeh, diraupnya kesepuluh jari yang telah terputus itu, dan membawanya mendekatiku.

Jari itu dipersembahkan Pak Noah untukku, ditaruh tepat di samping lilin yang ada di tengah ruangan.

Semuanya terkejut kecuali Ayah, aku dan Pak Noah ketika mengetahui bahwa kini kaki ayah tak lagi memiliki jari. Darah semena-mena mengalir dari potongan jari itu, membuat kubangan darah yang mengelilingi lilin.

"Pak, kenapa kau lakukan itu?" tanyaku parau dengan mata yang terpaku pada api lilin.

Pak Noah tersenyum, senyum yang nampak begitu mengerikan bagiku. Senyum seseorang yang bangga dengan apa yang diperbuatnya, dan ingin melakukan lebih jauh lagi.

"Sudah kubilang di awal, ini semua kulakukan untuk meningkatkan efisiensi belajarmu--"

Kalimat Pak Noah selanjutnya terpotong karena kepalaku yang tiba-tiba pusing. Pandanganku kabut dan aku merasa seperti sedang melayang di awan. Limbung, aku hampir saja terkantuk lantai keramik apabila Pak Noah tak segera menangkap kepalaku.

"Bunuh ... bunuh semuanya ... mereka menyakitiku, Pak ...," lirihku dalam dekapan Pak Noah.

"Anak-- ... --malangnya kau--- .... ---senang hati."

Kepalaku diletakkan dengan begitu perlahan dan hati-hati oleh Pak Noah, membuatku tersenyum dan menyadari bahwa ternyata pilihanku sudah benar. Memang seharusnya aku percaya pada Pak Noah untuk kemarin, sekarang, dan seterusnya.

"Kalian mendengarnya sendiri, El ingin kalian mati. Jadi, bersedialah dengan lapang dada, anggap siksaanku adalah pembersihan dosa. Dan biarkan aku menikmati kematian kalian."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now