[02] Brankar Tanda Tanya

41 3 1
                                    

"Betulkan dudukmu."

Aku mengangguk, dengan kaku membetulkan posisi dudukku sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Pria di hadapanku.

Pria berumur tiga puluh tahunan yang memiliki garis wajah keras, tatapan mata tajam, dan badan besar berotot. Seragam polisi yang melekat di tubuhnya seperti mati-matian menahan diri untuk tidak bedah.

Namanya Zwin, Polisi yang bertugas menangani kasusku, lelaki yang tadi berdebat dengan Dakthes.

Ah iya, Dakthes, Dokter itu sudah menjelaskan seluruh cerita yang sama sekali tak ada dalam memori otakku tapi anehnya tak terdengar seasing itu. Aku kadang bahkan bisa sedikit menebak kalimat selanjutnya yang akan Dakthes ucapkan semasa ia bercerita.

Aku adalah seorang Anak Sekolah Dasar yang membunuh seluruh anggota keluargaku dengan begitu brutal tiga hari lalu.

Aku adalah Anak Kecil yang mendapat julukan Titisan Iblis Neraka Jahanam dari masyarakat karena menikam dada Adik laki-lakiku, karena merobek perut dua Kakak perempuanku sampai usus mereka merasakan dinginnya angin malam itu, karena menyilet kedua tangan Ibuku dengan pisau cutter sampai kedalaman lima sentimeter dan memberinya beberapa bekas tusukan di bagian ginjal, karena memotong seluruh jemari tangan dan kaki Ayahku beserta separuh lidahnya, dan karena setelah melakukan perbuatan keji itu, aku justru keluar rumah dan memangku kepala dengan satu tangan, di undakan tangga. Menatap kosong ke depan sambil meleletkan darah di pisau ke seluruh wajah seperti menggunakan masker.

Tentu aku tak mempercayai omong kosong itu ketika Dakthes menceritakannya.

Gila saja! Cerita seperti itu hanya ada di Novel Thriller atau Komik Horror, mana mungkin aku melakukannya?

Tapi tatapan Dakthes lah yang membuatku merinding ketika aku berusaha menyangkal. Ia menatapku sayu, aku memang masih anak-anak, tapi aku bisa merasakan apa yang ia katakan lewat dua mata hitamnya yang meredup. Kesedihan, ketakutan, dan kecemasan bercampur di sana.

Dan aku tahu, tatapan mata semacam itu, bukanlah suatu hal yang bisa dimanipulasi.

Maka aku terdiam, menunduk, dan akhirnya meminta Dakthes untuk melanjutkan ceritanya.

Katanya, seorang Polisi yang berpatroli melihatku, sempat Polisi duga aku adalah Hantu, tapi aku terlalu nyata. Kakiku menempel erat pada anak tangga teras rumah, sedangkan Polisi itu percaya bahwa Hantu tidak bisa menapak tanah.

Jadi dua Polisi itu turun, memeriksaku, menanyaiku. Tapi aku seperti Anak Disabilitas, seperti anak yang kurang genap.

Aku berlari masuk, dan kedua Polisi itu mengikutiku. Mereka tertarik pada penampilanku yang bermandikan cairan merah berbau anyir dan tanganku yang mengenggam erat pisau.

Maka ketika kedua pasang mata itu melihat anggota keluargaku yang sudah terkulai tak bernyawa, serentak mereka mengeluarkan borgol, mencoba meringkusku.

Menyadari ada bahaya, aku pun langsung bereaksi dan hendak meluncurkan serangan. Perkelahian cukup sengit, aku membawa pisau dan Polisi itu membawa pistol.

Tapi anehnya, bahkan ketika kedua Polisi itu sudah mengosongkan satu pelurunya, mengeluarkan suara yang seperti mengajak duel sang Petir, aku sama sekali tak terlihat takut. Kata Polisi itu, mereka seperti berhadapan dengan seekor Hewan Buas.

Aku mendapat tembakan di kaki kanan, terjatuh dan kepalaku menghantam keras pinggiran meja kaca. Aku tak sadarkan diri.

"Aku tak akan berbasa-basi." Zwin, polisi itu berkata demikian sembari menyodorkan beberapa lembar kertas kearahku.

Aku mendongak, menatapnya kebingungan.

"Hasil otopsi sudah keluar, dan sidik jarimu ada di seluruh tubuh korban. Setelah ini kau akan bertemu dengan Ahli Psikologi Forensik, demi memastikan kewarasanmu. Itu saja dariku, aku hanya memberi tahumu karena itu adalah tugasku."

Zwin berdiri dari duduknya, mengambil kembali kertas-kertas yang ia serahkan padaku tadi, padahal aku belum sampai membaca satupun kata disana.

"Kau tak akan menginterogasiku, Pak?" tanyaku kebingungan.

Zwin menatapku, "Tadinya aku akan menginterogasimu, tapi anak itu melarangku. Katanya kau tak mengingat sama sekali kejadian malam itu, ia menduga kau mengalami amnesia sementara. Ia mengoceh tentang pikiranmu yang mencoba memblokir ingatan burukmu. Katanya jika aku menginterogasimu, itu akan menganggu kesehatan mentalmu. Entahlah, aku tak paham apa yang diocehkannya tadi. Aku menurutinya karena aku tak mau mengacaukan pembicaraanmu nanti dengan Ahli Psikologi itu, dan lagipula, aku sudah mendapatkan hasilnya. Sidik jarimu, saksi, dan hasil otopsi, semuanya sudah lebih dari cukup."

Aku meneguk ludahku sendiri, bohong jika aku berkata bahwa aku mengerti apa yang Pak Polisi baru saja ucapkan.

Amnesia sementara? Ahli Psikologi Forensik? Apa dan siapa mereka?

Tapi satu hal yang benar-benar membuatku penasaran.

"Pak, tolong beritahu hukumanku."

Zwin, Pak Polisi itu menatapku intens, sepertinya ia mengetahui bahwa aku sama sekali tak mengerti penjelasannya tadi.

Aku tersenyum kecut, sepertinya ia tak akan memberi tahuku, ia tak akan menjawab pertanyaanku karena sia-sia. Ia pasti berpikir untuk apa mengoceh panjang lebar jika aku sama sekali tak bisa memahami?

"Jika kau terbukti tak waras, kau akan mendekam di Rumah Sakit Jiwa atau Rehabilitasi sampai kau benar-benar sembuh. Tapi jika kau terbukti waras, kau akan dihukum Pidana Penjara di bawah dua puluh tahun karena kau masih di bawah umur. Itu saja, kuharap kau mengerti."

Aku termenung, bagiku diriku waras. Berarti aku akan mendekam di penjara selama dua puluh tahun?

Ah, tapi aku belum tentu waras menurut Ahli itu kan? Jadi kalau aku tak waras menurut Ahli itu, aku akan mendekam di Penjara Orang Gila sampai sembuh?

Aku bingung.

Jadi apa yang harus kulakukan?

Aku harus berpura-pura waras dan mendekam di penjara, atau aku berpura-pura tak waras? Tapi jika berpura-pura tak waras, rasanya sebagian dari diriku tak terima.

"Cukup bersikap apa adanya. Kata 'Ahli' itu bukan sembarang didapat, mereka bukan orang yang bisa kau kelabui. Ah, mungkin ada satu ahli yang bisa kau kelabui, Dakthes. Tapi sebenarnya dia bukan bodoh, dia hanya terlalu dibutakan oleh rasa kemanusiaannya yang terlalu manusia. Dia terlalu polos. Tapi aku bisa menjamin, orang-orang yang akan berbincang denganmu nanti, mereka semua sudah masuk jajaran Hati Hitam."

Detik selanjutnya, Pak Polisi hengkang tanpa basa-basi, meninggalkanku yang memandang selimut rumah sakit dengan puluhan tanda tanya di kepala.

Istilah-istilah yang baru pertama kali kudengar seperti mengambang, berputar-putar, meminta dipecahkan artinya agar bisa menghilang.

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now