[ PROLOG ]

87 8 4
                                    

Petir menyambar, seakan mencoba membelah bumi dengan raungannya. Jendela berbingkai putih itu, kacanya jadi buram karena terguyur derasnya rintik air dari langit.

Detikan jam yang selalu menjadi momok menakutkan bagiku setiap malam, tak lagi bisa kudengar. Bukan karena teredam amarah angkasa yang bintangnya raib tertutup kegelapan awan, tetapi terkalahkan oleh suara degup jantungku yang seperti hitungan mundur dinamit.

Bau anyir yang bercampur dengan bau tanah basah, darahku berdesir-desir, menyanyikan syair kematian.

"Kau membunuhnya! Kau membunuhnya!"

Suara itu terdengar lagi dari belakang punggungku, mengulang dua kata yang sama seolah aku adalah bocah tuna rungu yang perlu diteriaki jutaan kali agar mengerti.

Kekehannya yang berat menyapa telingaku, menertawakan, mengejek diriku, membuat kepalaku yang pusing semakin kacau.

"Kau membunuhnya..."

"KAU MEMBUNUH KELUARGAMU, ELVANNA VILVFRED!"

Jantungku berhenti berdetak, mataku terbuka lebar. Pusing di kepalaku hilang seketika, aku tersadar sepenuhnya.

Namun nyatanya, menutup mata memanglah pilihan terbaikku. Karena rasanya aku langsung ingin mencongkel mataku sendiri ketika kulihat lima tubuh yang pagi tadi masih sarapan bersamaku, kini terkulai lemas dengan tangan terikat di belakang punggung.

Cahaya kilat kembali menyambar, memperjelas penglihatanku yang samar-samar.

Lima tubuh, adik laki-lakiku, dua kakak perempuanku, dan kedua orang tuaku. Lima tubuh itu terduduk di kursi makan, kedua tangan dan kakinya terikat, dengan nyawa yang tak lagi melekat. Darah mewarnai ruangan dua belas meter persegi, menutupi cat putih bersih yang baru dua hari lalu diaplikasikan oleh Ayah.

Aku menunduk, tak sanggup menatap kelima anggota keluargaku yang mati mengenaskan di hadapanku. Namun mengapa?

MENGAPA AKU MEMEGANG PISAU?

Kurasakan tubuhku yang bergetar hebat, pisau itu terjatuh, bergelontang di atas keramik yang licin.

Kutatap kedua tanganku yang bersimbah darah, mengangkatnya, mengendusnya. Apa benar ini darah keluargaku? Apa benar aku membunuh keluargaku seperti yang pria itu ocehkan sedari tadi?

"Lima, empat, tiga, dua ..."

Aku menoleh ke belakang, membiarkan kedua mataku bertemu dengan matanya. Lelaki berambut merah, ia tersenyum.

"Kau membunuh mereka ..."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang