[10] Rumah Baru

19 2 0
                                    

Jembatan itu membentang megah, dengan pembatas merah gradasi yang semakin mendekati Holydead semakin menghitam warnanya. Awan berarak, sedikit meneduhkan sebab menghambat sinar matahari. Bersama tiupan angin sepoi yang menyibak anak rambut dan rok-rok yang terlalu pendek, El, bocah itu berdiri di hadapan seorang lelaki berperawakan normal, tak tinggi tak juga pendek.

"Kau 'anak itu' bukan?"

"Siapa yang Bapak maksud dengan 'anak itu'?"

Beberapa orang menoleh, pasalnya suara percakapan keduanya begitu nyaring. Jangan salahkan mereka, tapi salahkan jarak sepuluh meter yang memisahkan keduanya yang memaksa mereka untuk membuka mulut lebih lebar dan memecut tenggorokan.

"Mendekatlah! Aku tak akan menggigitmu!"

Hening, angin sejuk mendesing-desing. El melangkah perlahan, memangkas jarak dengan seseorang itu. Ia ragu, padahal lelaki itu tersenyum lebar tanpa satupun hal yang mencurigakan. Hanya saja ....

Tiba tiba lelaki itu berlari, seperti tak bisa menunggu lebih lama kedatangan El. El yang kaget hampir saja putar balik kalau saja badannya tak melayang di udara.

"TOLONG! TOLONG!" pekiknya panik.
Orang-orang yang berlalu lalang memusatkan atensinya, pria bersepeda bahkan sampai turun dari sepedanya dan berlari hendak menyelamatkan El. Namun lelaki yang menggendongnya bak karung beras terkekeh, menenangkan orang sekitar dengan kalimat, "Dia adikku, mohon maaf jika menganggu."

El makin panik, situasi yang ia alami kini persis dengan adegan penculikan di sinetron. Insting melarikan diri miliknya secara otomatis aktif, memberikan reflek pegerakan kaki yang menendang sadis alat vital lelaki itu.

"Aduh!"

Debum tak enak terdengar, tubuh El terjatuh begitu saja ke aspal jembatan sedang sang Lelaki sibuk memegangi kemaluan, harap harap cemas agar tak ada pengurangan fungsi pada alatnya. El merintih, sepertinya luka tembak di kakinya terbuka! Tapi ia harus segera melarikan diri, pupus sudah kepercayaannya yang hanya secuil itu. Jika memang lelaki itu orang baik, kenapa harus menculiknya?

"Se ... di... kit ... la ... gi ... ukh!" El kembali tengkurap.

"Hei bocah, aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi apakah wajahku ini terlihat seperti tampang kriminal?" lelaki itu berkacak pinggang, berdiri tepat di hadapan kepala El yang tersungkur.
Mendongak, El meringis kesakitan. "Tapi bapak tadi menggendong saya seperti itu. Saya pernah melihat di televisi, anak anak yang diculik biasanya digendong seperti itu."

Terkekeh, sang Lelaki merendahkan dirinya, berjongkok dengan tumpuan satu lututnya. "Sepertinya benar kabar itu, kau lupa seluruh kejadian malam itu dan kini hanya menjadi gadis polos yang tak tahu apa-apa ya?"

El mengernyit, "Maaf, aku tidak mengerti ucapanmu, Pak."

Lelaki itu menghela nafasnya, "Ya sudahlah kalau kau tak mengerti. Intinya, jika aku ingin menculikmu, tak akan repot-repot kusuruh perawat itu untuk memberimu alamat 'kan? Aku punya kuasa yang bisa langsung menyeretmu kemari. Jadi, berhenti berpikir aku ini seorang penculik."

El terdiam, netranya menusuk mencari kebenaran di balik mata kucing lelaki itu. Sampai kemudian El menerima uluran tangannya, sebuah mobil datang dari luar kota HolyDead, hendak menuju HolyDead.

Ban mobil berdecit ringan, tanda kecepatan tak tinggi. Berhenti tepat di pinggir El dan sang Lelaki. Kaca mobil perlahan turun, memperlihatkan seorang wanita berambut pendek se-leher dengan wajah juteknya.

"Apa yang kau lakukan, Liam?" tanyanya spontan sebelum melirik ke arah El yang masih tengkurap. Matanya seketika melotot, kembali ditatapnya lelaki yang ternyata bernama Liam itu dengan semburat api di mata. "Jangan bilang, kau menyakiti bocah malang itu? Hei! Sudah kubilang kau boleh menganggu siapapun di hadapanku, kecuali anak-anak!"

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now