[14] Rumah Baru

10 2 0
                                    

Krek!

"SIAPA DISANA?!" gertak Liam curiga. Pasalnya rambutnya sama sekali tak bergoyang, berarti tak ada angin yang berhembus. Di sekitar gedung mereka pun tak ada hewan yang berkeliaran, karena semua sudah masuk ke perut. Lantas jika bukan penguping, siapa lagi?

Liam bertukar pandang dengan Nako, memberi suatu kode isyarat yang hanya mereka yang paham.

"El? Kau kah itu?"

Tak ada sahutan. Semak belukar itu tampak tenang, seolah memang tak ada siapapun dibaliknya. Tapi insting Nako dan Liam tak bisa diremehkan, mereka yakin ada yang menguping.

"Lebih baik tunjukkan dirimu sekarang, atau kami akan menghukummu lebih berat."

Dua detik berlalu, tepat saat Nako memutuskan untuk menghampiri semak itu, seseorang menampakkan dirinya. Melangkah perlahan keluar dari semak belukar itu.

Benar, itu El.

Berjalan dengan ekspresi was-was, El bahkan tak berani mengangkat kepalanya demi menatap kedua orang yang memergoki dirinya. El tahu, El bersalah karena telah menguping pembicaraan orang dewasa.

Tapi tentu ia tak melakukan itu tanpa alasan!

"Kenapa kau menguping pembicaraan kami? Apa di kotamu itu bukan hal buruk?" Nako bertanya, masih dengan nada lembutnya. Membuat El merasa dirinya masih diberi keringanan. Ia sempat keringat dingin, kalau-kalau Nako mengecap buruk dirinya.

Perlahan, El mengangkat kepalanya, berani menatap mata Nako dan Liam secara bergantian.

"Maaf, saya tidak akan membela diri karena memang apa yang saya lakukan adalah sebuah kesalahan. Tapi saya melakukan ini karena sebuah alasan. Saya takut Kak Nako kenapa-kenapa karena saya. Dan jika Kak Nako kenapa-kenapa pun, walau saya tidak bisa membantu, saya ingin tahu alasannya."

Nako dan Liam kembali bertukar pandang.

"Dengarkan aku, Nak. Ini mungkin terdengar sepele, tapi sebisa mungkin hindari menguping pembicaraan orang lain. Karena jika kau tertangkap sedang menguping, hidupmu akan benar-benar terancam. Untuk kali ini, kami akan maklum karena kau memang tak tahu, tapi kedepannya, kami tak tahu apa yang akan kami perbuat jika kau mengulangi kejadian ini lagi," ceramah Liam tak main-main.

Nako mengangguk, tanda setuju dengan apa yang Liam sampaikan.

"Tak peduli sedekat apapun hubunganmu dengan seseorang di Holydead, jika kamu melanggar aturan mutlak, hukuman tetaplah hukuman," imbuh Nako.

El diam, ia tak mau mengangguk karena tiba-tiba saja sesuatu melintas di pikirannya.

"Ya sudah, mari masuk. Kita harus cari ruangan baru untukmu."

Nako menggandeng tangan El, mengajaknya masuk.

Namun sesuatu seperti badai sedang berlangsung di otak El, di dalam pikirannya. Sebuah kata terus terputar seperti kaset rusak, menimbulkan ratusan tanda tanya.

---

"Wah-wah, kalau ruanganmu seperti ini, sangat tidak cocok dengan Holydead, El. Benar-benar seperti hotel! Haha!" puji Nako yang baru saja masuk ke ruangan El.

Gadis itu akhirnya ditempatkan di ruangan paling tinggi, satu-satunya ruangan yang tersisa yang layak untuk dihuni. Dan akibat dari renovasi yang Liam berikan, ruangan itu kini bak hotel bintang lima. Karpet bludru dan sofa empuk, juga kasur yang sepaket dengan selimut tebal itu membuat siapapun iri.

"Wah, kalau ini sih curang! Perasaan dulu Kak Liam juga belikan aku perabotan, tapi kenapa tak seindah ini? Apa kau anak emas? Apa kau anak salah satu Luxury?" cerocos Ceon yang baru saja datang.

"Keuanganku saat itu sedang tak baik, jadi wajar saja aku membelikan perabotan biasa. Lalu supply untuk penerimaan anggota baru juga tak banyak, karena performa kita belum sebagus itu," jelas Liam yang sedang duduk santai di sofa.

"Jadi maksudmu keuanganmu sekarang membaik, dan supply kita naik?" sambar Duka yang baru saja masuk.

"Hei, kalian ini bisa ketuk pintu dulu tidak? Ini sudah menjadi ruangan El," protes Nako yang tak terima anak asuhnya dianggap sepele.

"Untuk apa ketuk pintu jika pintunya terbuka?" kilah Duka. Tak salah memang, maka dari itu Nako terdiam dan memilih mendekati pintu untuk menutupnya.

Tetapi sebelum pintu itu tertutup, satu pak kartu remi tiba-tiba muncul. Nako mau tak mau membuka kembali pintu dan mempersilakan dua kembar biadab itu masuk.

"Wah, ruangan yang sangat indah! Bisa kita mengadakan pesta malam ini? Minum-minum!" sorak Moran, si paling asyik. Asyik sendiri maksudnya.

"Tidak-tidak! Sebagai wali dari El, aku akan menjaga El dari virus-virus seperti kalian. Tidak ada minum-minum! Sudah, semuanya turun!" pangkas Nako tanpa ampun.

Sorakan terdengar, Nako dikatai si Paling Ibu-ibu.

---

Hari-hari berlalu, kaki El perlahan mulai kembali seperti semula. Lukanya mulai mengering seiring dengan obat dan salep yang mulai menipis. Sudah tinggal cukup lama, El mulai mengenali penghuni gedung terbengkalai ini. El mulai mengenal sedikit tentang Holydead, dan mulai memahami karakteristik kota yang katanya jadi kota berwarna merah.

"Wah! Kakimu sudah sembuh rupanya Anak Baru!" sapa Mimi yang sedang bersantai di sofa. Televisi di depannya menyala, namun selama perjalanan El menuruni tangga dari lantai paling atas hingga paling bawah, tak sekalipun Mimi melihat ke arah televisi. Gadis itu sibuk pada ponselnya. Televisi hanya peramai suasana.

El tersenyum kecil, "Iya Kak Ceon, obat dan salep dari Dokter sangat menjur."

"Bagus kalau begitu, kamu mungkin akan mulai bekerja satu minggu lagi, untuk membayar hutang-hutangmu." Itu Duka, yang baru saja turun dari ruangannya. Berjalan mendekati sofa dan langsung merebahkan diri di samping Ceon.

Ceon bergidik, "Kak Duka jangan dekat-dekat! Bau! Belum mandi!"

Duka mendengus, "Siapa pula yang ingin dekat-dekat denganmu, bocah! Urus sana ponselmu, pindah ke sofa yang itu kalau kau tak ada niatan nonton televisi!"

"Ish! Datang-datang mengusir! Mentang-mentang tua!"

El tertawa kecil melihat interaksi antara keduanya. Akhir-akhir ini, El punya hobi untuk menghilangkan rasa bosannya, walau di ruangannya sudah sangat lengkap sampai punya televisi sendiri, namun ia kesepian. Maka setiap pagi, El akan turun ke bawah. Menikmati keramaian yang tak seramai itu. Menikmati percakapan-percakapan tak jelas antara penghuni gedung satu sama lain.

El tahu, hampir setiap penghuni ini memiliki pekerjaan. Dan kebanyakan, pekerjaan mereka dilakukan di malam hari. Jika pekerjaan mereka berat, maka seharian mereka akan tidur di ruangannya. Nah, jika pekerjaan tidak terlalu berat, atau bahkan tak ada 'pesanan' maka mereka akan bersantai di lantai paling dasar.

Entah apa yang dimaksud dengan 'pesanan', sepertinya mereka bekerja di instansi yang mengharuskan ada pesanan sebelum bekerja seperti mengirim paket, dll.

Ah iya, lantai paling dasar ini, memang baru digunakan sebagai tempat bersantai semenjak renovasi ruangan El. Karena hari itu, Nako juga membeli perabotan. Tapi karena tak mungkin dimasukkan ke dalam ruangan El, jadilah dibuat ruangan bersantai di bawah. Terletak di tengah-tengah lantai dasar. Persis seperti ruang tamu.

"Kira-kira dulu kakak membayar hutang berapa lama dengan gaji pekerjaan kakak?" tanya El melanjutkan ungkapan Duka yang sempat menyinggung hutang.

Ya, El berhutang kepada Nako dan Liam. Untuk Liam, adalah perabotan yang lelaki itu belikan. Sedangkan untuk Nako, walau Nako menolak untuk dibayar, tapi El tak bisa menerima begitu saja kebaikan perempuan itu.

"Hm, berapa lama ya? Kira-kira sepuluh sampai sebelas pesanan? Itupun pesana bintang tiga."

"Pesanan apa sih maksudnya Kak? Kakak kerja dimana memangnya?"

Mendengar pertanyaan itu, Duka mendudukkan diri, matanya tajam menatap El yang memasang tampang kebingungan.

"Nako belum memberi tahumu?"

---

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now