[27] Flashback

10 1 0
                                    

"Maaf baru memberi tahu El, Ibumu punya sedikit gangguan jiwa."

Aku melotot, bingung memutuskan untuk percaya atau tidak dengan perkataan yang Pak Noah lontarkan. Namun detik selanjutnya mataku kembali memejam, untuk beberapa detik. Kepalaku semakin pusing.

"Ya, aku sudah selesai denganmu--"

"Tu ... nggu ... ke-kenapa ... kau ... lakukan ini ...?"

Itu ayah, dengan ekspresi wajah yang begitu pahit menahan sakit. Darahnya mulai menggenang di bawah kursi, terus mengucur dari lima belas jari tangan dan kaki yang telah terlucuti.

Pak Noah menoleh, tersenyum.

"Aku adalah dewa penghukum. Anggap saja begitu," jawab Pak Noah asal.

Selanjutnya, kini Pak Noah telah berdiri di belakang Kakak keduaku, menjulurkan perlahan tangan kekar itu sampai berlabuh di pundak Kakak. Pak Noah memajukan tubuhnya, berbisik di telinga Kakak.

"..."

Mata kakak melotot, benar-benar seperti akan menggelinding keluar dari kelopaknya. Lantas ia mulai berontak, mencoba melepaskan diri dan berteriak-teriak di balik lakban.

"Baiklah-baiklah, kamu ingin kubuka penutup mulutmu, 'kan?  Silahkan!"

Bret!

"ORANG GILA! TOLONG! SIAPAPUN DI LUAR SANA! TOLONG KAMI!" teriaknya menggila. Pak Noah bahkan sampai menutup kedua telinganya, tak tahan dengan frekuensi suara perempuan muda di depannya.

"Diam!" perintah Pak Noah dingin, tegas dan singkat.

Kakak terdiam, menurut begitu saja sambil menggigit bibirnya kuat-kuat.

"El, ambilkan pisau paling panjang di dapur. Sekarang." Titah sudah keluar, badanku yang lemas seketika segar bugar. Aku berdiri tegap, menyatakan kesediaanku dan segera bergegas turun ke lantai bawah.

Mencari-cari, tak lama, karena aku sudah terbiasa dengan letak barang-barang di dapur saking seringnya memasak. Dapat! Aku langsung membawanya ke lantai atas.

Kuserahkan dengan hikmat pisau sepanjang tiga puluh senti itu kepada Pak Noah. Beliau tersenyum, tak lupa berucap terimakasih dan tanpa basa-basi langsung menusukkannya tepat ke perut Kakak.

Aku termenung.

Tepat di depanku ... kakakku ... ditusuk.

Pisau itu menancap tepat di ulu hati Kakak, membuat darah berontak keluar dari mulutnya. Ia melotot, menatapku dengan tatapan membunuh, dendam, benci, dan takut menjadi satu.

Aku menundukkan pandangan, tak berani menatapnya.

"Aduh, pisaumu kurang tajam," gumam Pak Noah tiba-tiba. 

Sebenarnya aku penasaran, bukankah tadi pisau itu sudah tertancap sempurna di dada Kakak? Kenapa tiba-tiba menjadi tumpul kembali?

Aku tersentak, kurasakan sentuhan dingin di daguku, memaksaku mengangkat kepala dan memandang telak Kakakku.

Pak Noah tersenyum, "Kamu harus melihat dengan seksama, kematian satu per satu anggota keluargamu. Bukankah kamu menginginkannya?"

Aku menggeleng, melepas tangan Pak Noah dari daguku dan kembali menunduk. "El tidak pernah menyuruh Pak Noah untuk bunuh keluarga El," tuturku takut.

Pak Noah bergeming, hening.

"Tapi kamu 'kan membenci mereka, El. Harusnya kamu berterimakasih kepada Bapak, sudah bersedia menghilangkan hama dari hidupmu."

"Tapi El tidak pernah berkata bahwa El ingin mereka hilang, Pak."

"Jadi maksudmu ... kamu tidak suka keluargamu dibunuh?"

Aku menggeleng sekuat tenaga, "Tentu saja tidak, Pak."

DUAK!

Begitu cepat, sampai aku tak bisa melihat gerakan kaki yang membuatku terjerembab di lantai. Aku meringis, menatap Pak Noah yang berjalan pelan menghampiriku. Matanya berkilat-kilat, seperti vampir yang haus akan darah, seperti serigala yang haus akan domba, seperti pemangsa yang haus akan korban jiwa.

Ia berjongkok, bertumpukan satu lututnya dan mulai membelai rambutku.

"Anak malang, dengarkan aku."

Aku menelan ludah.

"Kamu lah yang ingin keluargamu dibunuh, aku tahu itu walau kamu tidak pernah mengatakannya. Dan bukan aku yang membunuh keluargamu, melainkan kamu. Orang yang menusuk, orang yang memotong, orang yang mengiris tubuh keluargamu, adalah kamu. Mengerti?"

Aku terpana, bingung dan pusing.

Sementara aku sibuk mengendalikan diri karena pusing yang luar biasa hingga rasanya ingin muntah, Pak Noah tersenyum begitu lebar, mengusap puncak kepalaku dan berkata,

"Kau membunuh keluargamu."

Menyodorkan pisau lipat yang telah berlumur darah, Pak Noah mengambil tanganku, dipaksanya untuk kugenggam pisau itu. Aku meringis, perih, besi itu sedikit mengiris kulit ariku.

"Rasakan ... betapa damainya darah yang kamu genggam. Mereka tak akan lagi berteriak kepadamu setelah kamu berhasil mengeluarkan darah sebanyak ini dari tubuh mereka, bukan? Mereka tak akan lagi memakimu, menjadikanmu budak. El, rasakan ...."

Aku menggeleng, berulang kali menggeleng demi mengusir rasa pusing luar biasa dan mengusir pikiran jahat dari kepalaku.

"TIDAK! EL BILANG TIDAK!"

Pisau lipat itu bergelontang di lantai, nafasku tak beraturan. Aku berderai air mata, beradu pandang dengan Pak Noah yang melotot marah, matanya memerah.

PLAK!

Perih, kebas rasanya pipi kananku dibuatnya. Pak Noah marah besar, muridnya tidak mau mengikuti arahannya, wajar saja.

"Tapi El, bapak tidak perlu pendapatmu. Bapak akan memaksamu, membentukmu, menjadikanmu sesuatu yang indah. Seperti ulat yang menjadi kupu-kupu, Mariposa! Kamu akan menjadi mariposa terindah!"

Aku menatap Pak Noah yang terkikik sendiri.

"Lalu orang-orang akan mengenalmu, mereka bertanya-tanya, 'siapa gurumu? Siapa seniman pembuat mahakarya ini?' AKU! AKU!" Pak Noah membusungkan dada, untuk kemudian digebuk hebat dengan kepalan tangannya sendiri. Ia tersenyum lebar.

"Maka dari itu, katakanlah kamu akan tersayat-sayat, tapi percayalah El, itu adalah proses. Percayalah, kamu akan menjadi sosok yang diidamkan semua orang--"

"Pak Noah manusia jahat! Antagonis seperti iblis!" hardikku.

Pak Noah malah meringis. Kemudian, ia berjalan menjauh mengambil bangku kecil berwarna pink, mengangkatnya dengan mudah dan kembali menghampiriku dengan kaki diseret.

"Sayangnya, aku bukan iblis. Aku terlalu tua untuk berkembang sepesat itu, El."

Berhenti di depanku, Pak Noah mengangkat kursi itu tinggi-tinggi. Wajah murungnya perlahan berganti, senyuman mengerikan itu kembali terbit.

"KAU LAH IBLISNYA HAHA!"

BRAK!

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang