[03] Brankar Tanda Tanya

33 4 0
                                    

"Jadi kau sama sekali tak mengingat apapun tentang apa yang kau lakukan malam itu?"

Entah sudah berapa kali aku menganggukkan kepala semenjak wajah kami bertemu. Seorang wanita paruh baya dengan kacamata dan wajah damainya itu ikut manggut-manggut, menulis sesuatu di buku kecillnya dengan pensil bermotif kucing.

Ia duduk di sampingku, di kursi yang tadi juga diduduki Dakthes dan Zwin.

"Bagaimana kalau minum dulu?" tawarnya lagi setelah sempat memandangi jam tangannya.

Aku mengangguk, menerima cup berisikan air mineral yang tinggal setengah. Meneguknya sampai habis, aku disambut senyuman darinya.

"Baiklah, sesi kita sudah selesai untuk hari ini. Kemungkinan saya akan datang lagi entah itu besok, atau lusa. Terimakasih sudah mau menjawab semua pertanyaan dengan baik dan jujur, kamu anak yang baik."

Wanita yang bahkan tak kuketahui namanya itu akhirnya berdiri, menutup buku kecilnya dan memasukkannya ke dalam saku jubah putihnya yang persis seperti milik Dakthes.

Aku tersenyum, "Sama-sama, Bu."

"Kalau begitu, saya pamit. Sampai jumpa."

"Hati-hati di jalan ya, Bu. Mendung, pasti tidak lama lagi hujan deras."

Aku mengerutkan kening ketika senyumnya tiba-tiba sirna. Ia tak mengatakan apapun, hanya menatapku seolah aku baru saja mengatakan hal yang sangat tabu.

Aku hendak bertanya, tapi terhenti ketika ia mengambil pensil yang sudah ia masukkan ke kantung. Diangkatnya pensil itu sejajar dengan kacamatanya, "Apa warna kucing ini, El?"

"Abu-abu?" jawabku ragu.

Ibu itu kembali memasukkan pensilnya ke dalam saku, dan mengeluarkan ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, untuk kemudian berpamitan padaku untuk menelepon seseorang.

Aku mengiyakan, dan Ibu itu langsung keluar ruangan.

"Halo, Dakthes." Itu suara Ibu berkacamata.

Ya, sepertinya dia tak tahu bahwa dinding rumah sakit ini tak setebal itu. Dan mungkin karena aku berada di ruangan yang terpisah, keramaian sama sekali tak menjadi penghambat bagi indra pendengarku untuk beroperasi mencuri suara dari luar ruangan.

Tak sejelas itu memang, tapi cukup.

"Ah ya, ada apa?" Loud speaker. Aku sempat khawatir aku tak dapat mendengar suara penerima telepon. Ternyata aku melupakan satu fakta, Ibu-ibu yang berstatus Ahli Psikologi Forensik itu sudah lumayan tua. Ia persis seperti Ayah dan Ibu ketika mendapat telepon, selalu mengaktifkan loud speaker.

"Kau sudah memeriksa kondisi tubuhnya dengan baik, kan?"

"Tentu saja sudah."

"Bagaimana hasilnya?"

"Eh? Bukankah aku sudah mengirim berkasnya? Anak itu mengidap Amnesia sementara, luka pada kepala karena terbentur benda tumpul, dan luka di kakinya yang tertembak."

"Selain itu?"

"Eh? Apa ada yang lain? Tunggu sebentar, aku akan mengecek berkasnya."

"Benar kok, hanya itu saja."

"Bagaimana dengan matanya? Apa benturan dari benda tumpul di kepala itu tak mempengaruhi saraf matanya? Atau dia punya penyakit mata?"

"Tidak ada, matanya sehat. Ada apa memangnya?"

"Dia bilang langitnya mendung, sebentar lagi turun hujan deras."

"Apa maksudmu?"

"Sepertinya dia buta warna."

THE LOST GIRL [UP TIAP HARI]Where stories live. Discover now