8 War Invitation

696 45 4
                                    

Aku sangat amat merutuki Febri si ketua taekwondo itu. Gayanya yang sok membuatku ingin memukulnya. Untung saja aku ingat bahwa dia itu taekwondoin sekolah, kalau aku pukul dia, aku dipastikan akan ditendang. Aku memutuskan pergi ke kantin untuk membeli minum agar kekesalanku hilang. Untuk ke kantin, aku mengambil jalan memutar agar lebih dekat ke kantin dari gedung serbaguna. Untuk mencapai kantin, aku melalui sebuah celah yang terbentuk dari tembok gedung serbaguna dan gedung utama berukuran satu meter.

       "Abel," seseorang memanggil namaku.

       "Eh, Dio," ternyata Dio si ketua divisi empat yang memanggilku.

       "Gimana? Udah koordinasi?" tanyanya. Aku menghela napas kencang saat mendengar pertanyaan Dio.

       "Kenapa? Mereka gak mau diajak kerjasama?" tanya Dio padaku.

       "Mau sih.. Tapi ya gitu. Udah dapet jadwalnya sih, Senin besok udah mulai evaluasi administrasinya," kataku menjelaskan kepada Dio.

       "Hmm... mereka gak 'ngapa-ngapain' lo kan?" tanya Dio.

       "Hah? Oh, nggak sih. Tapi mereka bilang kalau gue jadiin event evaluasi ini 'sampah', gue bakal 'diapa-apain'," kataku sambil tertawa penuh ironi.

       "Eh? Aduh, yakin lo gak kenapa-kenapa tapi kan? Aduh, Bel, kalo lo kenapa-kenapa lo harus bilang ke gue sebagai kadiv empat," katanya berapi-api. Sungguh Dio layak menjadi kadiv empat.

       "Iya, gue janji. Gue bakal jaga diri," kataku meyakinkan. Aku yakin pekerjaan Dio sebagai kadiv sudah sangat banyak. Menjaga anggotanya –yang seperti aku—pasti sangat melelahkan.

       "Yaudah, Bel, gue cabut dulu. Perkembangannya lu laporin tiap minggu ke gue ya. Barengan sama anak-anak divisi empat lain," katanya pamit. Aku tersenyum dan melambai padanya.  Aku meneruskan perjalananku, tapi tiba-tiba tanganku dicekal seseorang.

       "Sini lo," ujar orang yang mencekal tanganku. Aku tak mengenalnya, tapi badge di seragamnya menunjukkan bahwa dia siswi kelas XII IIS 1.

       "Ada apa, Kak?" tanyaku sopan.

       "Heh," Kak Lyra menoyor kepalaku sambil mengucap salam yang tak pantas. Rupanya kakak yang tadi adalah salah satu antek-antek Kak Lyra.

       Apaan nih? Apalagi sih?

       "Ada apa, Kak Lyra?" kataku berusaha sopan.

       "Gue mau nanya sama lo. Lo siapanya Adit?" tanyanya dengan nada rendah. Aku terkejut mendengar pertanyaan Kak Lyra.

       "Adit? Adit siapa?" tanyaku bingung.

       "Adit yang mana lagi? Aditya Mahardika yang anak BHS," cecarnya padaku. Aku bingung, darimana ia mengenal Kak Adit. Aku hanya bisa mengerutkan alis.

       "Kakak siapanya Kak Adit?" tanyaku polos. Sebagai adik kandungnya –bukan adik-adikan—aku berhak tau apa hubungan kakakku dengan cewek yang pernah menyiram kepalaku dengan es kelapa.

       "Jawab aja susah banget sih! Songong pula!" si Kakak Pencekal membentakku. Oh, namanya Sila Adelia.

       "Sila, gue bilang gak peke bentak-bentak," Kak Lyra menenangkan Kak Sila.

       "Kak Lyra kenal Kak Adit darimana?" tanyaku penasaran.

       Darimana Kak Adit kenal cewek macam gini? Dari SMA negeri pula.

       "Gue tanya sekali lagi, lo sama Adit ada hubungan apa?" tanya Kak Lyra sekarang padaku.

       "Tanya aja sama Kak Adit. Kalo memang Kak Lyra kenal sama dia," tantangku. Aku malas memberitahunya. Sebab, sepertinya Kak Lyra adalah salah satu cewek yang menyukai Kak Adit. Dari sekian banyak cewek yang tahu aku adalah adiknya, keseluruhan cewek-cewek itu menjadikanku objek PDKT mereka. Aku tiba-tiba dibelikan baju, aksesoris, dan lainnya. Bahkan ada yang sampai menawarkanku mencarikan cowok.

       "Abel. Naura. Shalika. Soal es kelapa kemaren, gue ngelakuin itu sebagai pembalasan atas lo yang nabrak gue di koridor. Gue tadinya gak mau berbuat lebih dari itu. Tapi, gue liat lo dijemput sama Adit," Kak Lyra berhenti berkata-kata namun melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

       "Gue penasaran hubungan lo sama Adit. Kalo emang hubungan lo spesial sama dia... Gue pengen tau, apa yang Adit liat dari cewek kaya lo," katanya lagi.

       Ha! Gotcha! Bener kan Kak Lyra suka sama Kak Adit.

       And, wait... apa yang bisa diliat dari gue?

       "Jadi, jawab pertanyaan gue, gue gak suka liat lo deket-deket menel sama Adit" perintahnya padaku.

       Eh, ini dia jealous sama gue? Eh, eh.

       "Eh. Menel, Kak?" jujur aku bingung dengan pernyataannya barusan.

       "Jangan pura-pura bego," Kak Sila kini bersuara.

       "Tapi, Kak, aku bener-bener gak ngerti deh," aku menggelengkan kepalaku kebingungan.

       "Aduh. Pas pulang sekolah beberapa hari yang lalu, gue liat lo peluk-peluk Adit. Manja-manja gitu. Jijik gue," ungkap Kak Lyra. Hal itu membuatku kaget.

       Wajar kaleee. Gue kan adeknya.

       Tiba-tiba aku sadar bahwa Kak Lyra benar-benar tidak tahu hubunganku yang sebenarnya dengan Kak Adit.

       Huh.

       "Tanya Kak Adit. Aku gak bisa kasih tau. Kak Adit yang pesen gitu," aku berkata dengan sejujur-jujurnya. Tapi sepertinya jawabanku tidak memuaskan rasa penasaran Kak Lyra.

       "Heh! Gue udah berusaha nanya baik-baik sama lo. Tapi lo malah kayak gini. Ngerti gak sih lo, kalo lo itu lagi cari masalah sama gue?" tanyanya.

       "Aku ngomong yang sebenernya kok, Kak," aku membela diri.

       "Jangan ngeles," sekarang Kak Sila menyudutkanku.

       "Aku gak bohong," aku mengerling.

       "Oke. Terserah lo! Tapi gue kasih peringatan sekali lagi. Cuma sekali ini gue ngasih belas kasihan sama lo. Jangan menel ke Adit! Kalo lo gak bisa, sama aja lo masuk black list gue," ancamnya.

       Aku menggerenyit mendengar ancaman itu. Aku yakin itu bukan ancaman kosong, mengingat ia mampu menumpahkan segelas es kelapa di kepalaku hanya karena insiden tabrakan kecil itu. Tapi tentu saja aku tidak bisa menyanggupi permintaannya untuk menjauh dari Kak Adit, kakakku sendiri.

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now