28. Gadisku

390 30 17
                                    

Hai gengs.

Ketemu lagi sama saya huehehe. Ada yang menunggu cerita ini tidaks? Maapkeun saya yang sok sibuk sampai menelantarkan lapak saya ini. Tapi saya janji akan menuntaskan ini semua kok. 

Oiya mau promo instagram saya nih, follow @/_tiascorbic ya gengs. ntar aku followback. Di situ akun buat nulis. Kalau mau kenalan lebih dekat #tsah #emangsiapayangmau bisa follow instagram aku @/afifadindamutia. Gitju. 

Vote dan commentnya ditunggu ya gaisss.

Thankiss and love ya,

28. Gadisku

Aku tidak pernah menjadikan orang tuaku sebagai pelindung karena mereka terlalu sibuk bekerja. Aku tidak pernah menjadikan orang tuaku teman bercerita karena mereka tidak punya waktu mendengarkan. Kak Adit dan Malikha menjadi pengganti orang tuaku, menjadi tempat aku berlindung dan berkeluh kesah. Hanya mereka yang kupunya. Jadi ketika Malikha pergi meninggalkan aku, salah satu lapisan gelembung pelindungku pecah. Hal itu membuatku bukan hanya sedih tapi merasa tidak aman—insecure.

Kak Adit boleh jadi melindungiku, tapi rasa tidak aman itu tetap menghantuiku. Lebih terasa setelah bertemu Miki di acara festival sekolah. Semakin menakutkan setelah foto Malikha tersebar. Puncak ketakutanku adalah saat ini, saat Miki menyeringai sambil memegang pergelangan tanganku dengan kasar.

"Lepas, " kataku pada Miki. Suaraku bergetar meski aku sudah menahannya agar tidak begitu. Bila aku sekali saja berkedip, sudah pasti air mataku akan jatuh. Miki hanya menyeringai melihat aku mencoba menarik tanganku. Teman-temannya terkikik menyaksikan adegan itu. Aku tidak berhenti menarik tanganku agar terlepas dari tangan Miki yang kasar.

"Ngga kangen sama gue? Mau pura-pura lupa gue?" tanya Miki sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku langsung memalingkan mukaku, menghindari berhadapan dengan netranya sekaligus menghindar dari bau asam dan pahit dari mulutnya sehabis merokok. Bajunya berbau asap rokok, beberapa bagian bolong kecil mungkin karena terkena rokoknya sendiri.

"Malikha, jawab gue!" teriak Miki padaku sambil menarik tubuhku mendekat padanya. Dia benar-bener tidak tahu dirinya telah membunuh Malikha? Sungguh kurang ajar. Dengan bebal aku malah menjauh darinya sambil mengelak, "Lepasin gue, brengsek!"

"Wow, kemana Malikha gue yang imut? Ups, Malikha liar sih di ranjang," tawanya sambil memandang ke teman-temannya. Miki menunggu persetujuan dari kumpulannya. Tidak salah lagi Miki adalah pentolan di Kolvac's ini.

"Sial!" teriak Miki setelah aku menamparnya dengan tanganku yang bebas. Miki dan perkataan busuknya tentang Malikha membuat aku gerah. Malikha tidak akan seperti itu, Malikha hanya salah memilih teman. Malikha hanya terpengaruh oleh lingkungan.

"Anjir nih perek. Beraninya lo," tangannya kini tak lagi mencengkeram pergelangan tanganku. Aku menggunakan kesempatan itu untuk memukul kepalanya dengan tasku yang penuh dengan buku. Miki mengaduh kesakitan dan aku berlari menjauh.

"Tangkep perek sialan itu!" kudengar Miki berteriak. Aku tidak menoleh sedikitpun untuk mencari tahu siapa-siapa saja atau seberapa banyak yang mengejarku. Beberapa gang kecil yang kulewati saat kemari bersama Kak Lyra terasa asing. Aku tidak mengetahuinya tapi yang kulakukan hanya berlari. Beberapa kali aku nyaris terjatuh karena rok span yang kugunakan. Aku memilih mengangkatnya dan berlari lebih cepat.

Tapi aku kalah cepat atau aku semakin melambat, mereka semakin mengikis jarak denganku. Mataku agak buram karena air mata mulai tumpah. Aku ketakutan dan napasku hampir habis karena berlari. Sampai akhirnya mereka menarik tas milikku hingga aku nyaris terjengkang ke belakang.

Aku memukul, menendang, menyikut. Aku beberapa kali mencoba menendang seperti yang Kak Adit ajarkan padaku dulu. Aku berusaha untuk fokus dengan gerakanku dibanding membabi-buta memukul. Mereka masih gigih memegang tas milikku meski tak dapat menyentuhku karena serangan yang kulancarkan bertubi-tubi.

Ketika tali tasku putus dan mereka mundur karena sebelumnya mereka menarik tasku, aku berbalik dan mulai berlari lagi. Aku berusaha menajamkan telingaku untuk mencari deru kendaraan bermotor yang menandakan jalanan dan keramaian.

"Anjing, buru!" seru salah satu pengejarku.

Peluh yang mengucur dari kening membuat perih mataku ketika alis dan bulu mata tak sanggup menahan. Napas yang tersengal, suara dentum jantung, dan teriakan teman-teman Miki menjadi latar suara saat ini.

Sampai kudengar suara klakson dan decitan ban hasil gesekan ban dengan aspal. Aku melihat Kassik Koffie. Kedai kopi yang awalnya kukira menjadi tempat pertemuanku dengan Kak Lyra sebelum Kak Lyra membuatku mengikutinya ke Kolvac's.

Satu tikungan lagi dan aku akan memenukan jalan raya. Tak jauh dari tikungan itu aku akan melihat halte bis yang terletak tak jauh dari gerbang sekolahku. Artinya, aku akan bertemu Kak Adit secepatnya. Segera setelah berbelok di tikungan aku tidak melihat mobil Kak Adit. Aku terkesiap, baru menyadari aku pulang lebih dulu.

***

Rakana mencari ke tempat rivalnya—dalam taekwondo dan mendapatkan Abel—biasa menunggu Abel untuk pulang. Tapi seperti yang ia duga, mobil putih yang biasanya diparkir di tempat itu tidak ada. Mungkin karena si penjemput belum pulang.

Ia melirik sekali lagi ke arah gerbang. Anak-anak yang terlalu senang dipulangkan lebih cepat sudah pergi. Entah menuju rumah atau untuk pergi nongkrong. Beberapa anak masih menunggu jemputan, ada juga yang masih betah mengobrol. Tapi Rakana tidak melihat Abel.

"Kak Rakana!" teriak seorang perempuan. Alikha dan Daniel menuju ke arahnya.

"Kalian ngga liat Abel?" tanya Rakana saat Alikha dan Daniel sudah berada cukup dekat untuk mendengarnya berbicara.

"Ngga, Kak," Daniel menyahut dan Alikha menggeleng.

"Gimana nih, Kak Rakana? Aku jadi ngerasa bersalah ga sadar kalau Abel pasti belum dijemput sama Kak Adit," Daniel menambahkan.

Rakana hanya terdiam dan melihat ke arah lain.

"Mungkin ngga sih Abel diculik?" Alikha terkesiap mendengar kalimatnya sendiri.

"Hush! Alikha, jangan ngomong gitu dong. Mending kita ikut mikir kira-kira Abel kemana," Daniel memarahi Alikha yang semakin panik.

"Niel, kalau dia dibawa ke tempat cowok itu gimana?" tanya Alikha. Pertanyaan itu membuat Rakana menatapnya dan berusaha mencerna apa maksud kalimat itu dan siapa cowok yang dimaksud.

"Cowok itu siapa? Adit?" tanya Rakana cepat. Alikha menggeleng dengan cepat.

"Sebenernya Adit itu siapa sih? Kenapa Abel deket sama dia?" decak Rakana. Sebenarnya ia tahu, Adit bukan tipe pria yang akan bersikap jahat kepada wanita. Walaupun sering menjadi musuh dalam pertandingan, Rakana cukup yakin Adit pria penyayang dan mampu melindungi Abel.

"Bukan Kak Adit kok, Kak. Itu... cowok yang ada di foto..." suara Alikha yang memelan di akhir kalimat tetap terdengar oleh Rakana. Kini matanya mendelik ke arah Alikha tajam.

"Maksudnya cowok 'itu'? Cowok yang di foto—"

"Kak Rakana, itu Abel!" Daniel berteriak histeris. Rakana buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah yang ditujuk Daniel. Benar saja, rambutnya yang berantakan tidak membuat Daniel dan dirinya tidak mengenali Abel. Alikha juga masih mengenali gadis itu karena teriakannya tak kalah histeris dari Daniel.

Perut Rakana seperti ditonjok sejadi-jadinya. Melihat rambut gadis yang disukainya begitu berantakan, pipinya yang merah, roknya yang tak rapi dengan kemeja OSIS yang sudah tak masuk ke dalam rok membuatnya marah. Tidak luput pula tas milik gadis itu yang sudah putus di bagian tali dan mungkin robek di beberapa bagian. Siapapun yang menyebabkan Abel seperti itu harus mengerti apa yang terjadi bila mengusik gadisnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now