19 Dimulainya Kasus Kembar

522 34 0
                                    


Aku bingung.

Sungguh.

Kak Rakana pergi gitu aja ninggalin aku. Padahal 'kan kita lagi latihan. Serius deh, itu tadi yang bikin HP Kak Rakana bunyi siapa sih? Siapa juga yang bayangannya di pintu utama lapangan indoor tadi?

Drrt

"Halo," kataku cepat dan jutek tanpa melihat caller ID.

"Hei, kamu kenapa? Jutek banget," tanya suara khas Kak Adit.

"Eh, nggak. Lagi bete aja gara-gara henpon," ujarku membuat alasan.

"Oh. Kenapa hand phone kamu?" tanyanya lagi.

Aku menggelengkan kepala sambil berjalan menuju tasku. Aku lupa ini sambungan telepon, bukan skype.

"Enggak kenapa-kenapa ternyata," elakku.

"Ohh... jemput jam berapa?" kata Kak Adit di antara deru motor. Kutebak dia pasti di jalan menuju sekolahku. Kebiasaan, dia selalu menelepon sesaat sebelum sampai di sekolah. Mau tak mau aku harus buru-buru keluar untuk menemuinya dan pulang. Padahal aku masih mau ngobrol sama teman-temanku.

"Kak Adit paling udah di depan sekolah aku, kan?" tanyaku langsung. Terdengar kekehan dari ujung telefon. Aku akhirnya menyerah dan menuju gerbang untuk pulang setelah mematikan sabungan telefon dengannya.

"Abel!" suara berat khas laki-laki yang kusuka. Setelah meninggalkanku, dia datang lagi?

Aku tidak menoleh padanya. Hei, walau aku menyukainya tapi aku punya hati. Aku mencebik dan terus melangkah.

Grapp.

Dia menahan lenganku agar aku tetap tinggal. Kuulangi, menahan lenganku. Aku terkesiap memandang kedua manik mata itu. Ya, akibat dia menahan lenganku, aku berputar dan mataku bersirobok dengan miliknya. Jantungku, yaampun, sepertinya pemompa darahku itu bekerja terlalu over.

"Maaf," ujar Kak Rakana. Aku diam saja, bukan tidak mau memaafkannya, aku masih degdegan karena tanganku tetap diganggamnya.

"Tadi ada—"

"Udah, Kak. Gapapa," ucapku cepat ingin buru-buru menyelesaikan kontak fisik yang membuat jantungku berdenyar gila-gilaan. Ia hanya membalas dengan gumaman dan aku melepaskan tanganku dari cengkramannya. Seakan belum puas membuat jantungku mau melumpat dari tempatnya, Kak Rakana berulah lagi, "mau gue anter pulang?"

__

Sayangnya Kak Adit sudah setia menungguku di depan sekolah. Aku terpaksa menolak ajakan Kak Rakana.

"Huh!" aku mendengus.

"Kenapa, Bel?" tanya Kak Adit. Ups, aku lupa di sebelahku ada Kak Adit.

"Gak papa," sahutku sambil merebahkan kepalaku ke pantry yang ada di dapur. Aku membayangkan dibonceng oleh Kak Rakana di motor hijau miliknya. Mungkin aku akan bilang padanya untuk mengantar sampai pintu utama kompleks. Menghindari Bibi yang mungkin akan melapor ke Kak Adit atau menghindari Kak Adit sekalian.

"Non, dipanggil Mas Adit ke taman belakang," seru si Bibi menghancurkan imajinasiku.

"Ugh Bibi. Abel lagi boncengan sama gebetannya Abel nih. Bibi ganggu aja," kataku kesal.

Si Bibi melongo, "boncengan, Non? Boncengan sama siapa? Hayoo lagi ngelamunin yang jorok-jorok ya?"

"Bibi mah," kataku merajuk. Si Bibi hanya geleng-geleng kepala dan mengingatkan bahwa aku dipanggil oleh Kak Adit.

"Oh iya, jangan bilang-bilang Kak Adit ya, Bi, kalau tadi aku ngelamunin kakak kelas aku di sekolah," pintaku.

"Oh jadi tadi ngelamunin kakak kelas..." si Bibi senyum-senyum.

"Ahh.. Bibi," aku mengetuk-ngetuk kepalaku merasa bodoh. Buat apa juga aku bilang kalau yang aku lamunin kakak kelas aku? Huh, dasar Abel dodol.

--

Pagi yang cerah tak secerah hariku. Handphoneku tiba-tiba kehabisan paket internet. Saat mau beli paket internet, semuanya bilang sedang tidak ada kuota. Ah sebal. Aku kan jadi tak bisa chit-chat sama Daniel-Alikha atau anak kelas lainnya. Bahkan mungkin, Kak Rakana nge-Line aku kan?

Curi wi-fi aja di sekolah

Gagasan menggunakan koneksi dari wi-fi sekolah menaikkan sedikit mood yang kepalang hancur ini. Sesampainya di kelasku yang sejuk ber-AC, aku cepat-cepat mengeluarkan handphone. Secepat itu pula sebuah tangan menjambret handphoneku. Aku menoleh dan mendapati Daniel sang penjambret memegang handphoneku.

"Heh, jambret!" kataku kesal.

"Jangan liat handphone," katanya horror. Tatapan di balik kacamata framelessnya itu membuatku ketakutan dan kebingungan.

"Jangan. Liat. Handphone." Ujarnya sarkas, mengulangi kata-katanya sebelum ini.

"Tapi itu handphone gue," kataku sinis. Ngapain juga dia ngelarang aku buat liat handphone aku sendiri. Dia tidak menggubrisku, malah duduk di tempatnya. Aku geram dan berusaha mengambil handphoneku secara paksa darinya. Sayang, dia cowok dan aku tetap perempuan, sekalipun dia tidak jago olahraga. Aku gagal merebut benda elektronik itu darinya.

Bel masuk menggagalkan usahaku selanjutnya. Membuatku dengan terpaksa duduk di bangkuku. Baru ku sadari, seluruh pasang mata di kelasku—kecuali Daniel yang pura-pura sibuk dengan bangkunya—menatap diriku dengan jenis tatapan yang sulit kuartikan.

--

Sampai istirahat kedua, Daniel belum mengembalikan ponsel pink milikku. Alikha seakan mendukung perbuatan Daniel dengan mengalihkan perhatianku pada hal lain; gosip-gosip yang tidak menarik bahkan yang sudah pernah ku dengar. Ia datang ke kelasku dengan tangan penuh makanan. Berkata bahwa aku tak perlu ke kantin karena di kantin terasa begitu crowd. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Tapi aku tak tahu apa itu dan aku merasa dibodohi karenanya.

"Jadi, katanya Dwina si ratu gosip, dia liat Saski sama Kak Veron di mall gitu. Mesra, pake pegangan tangan segala. Gila, gue nggak nyangka lho. Soalnya selama ini—"

Brakk.

"I don't care 'bout them. I don't know Saski, Dwina, Kak Veron. And I don't want to know. Just tell me what happen?" emosiku memuncak di istirahat kedua ini. Alikha kaget, teman-teman sekelasku juga pasti kaget. Tanpa melihat sekeliling, aku yakin aku telah menjadi tontonan mereka.

Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Itu tidak salah, kan?

"Whore!" teriak entah siapa dari arah belakangku. Aku terhenyak, whore, kata yang kasar sekali bagiku. Dia baru saja mengataiku jalang? Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku melangkah ke luar kelas, meninggalkan Alikha yang memanggil namaku. Aku menyusuri koridor-koridor gedung utama. Mecari tempat untuk sekedar menarik napas lega. Tapi apa yang kudapat? Tatapan seperti itu lagi, tatapan yang diberikan oleh teman sekelasku kini diberikan oleh hampir seluruh siswa-siswi yang memandangku. Beberapa berbisik-bisik, sebagian malah berani mengataiku terang-terangan.

Jalang. Sundal. Perek. Sama saja. Bitch.

Aku menutup telingaku dan berlari menjauh.

--

c

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now