23 Ajakan Lainnya

578 32 4
                                    


"Lyra!" teriak Rakana pada teman masa kecil gue itu. Lyra serta merta kesenangan dipanggil oleh gue. Ia langsung menggelayut di lengan gue yang langsung pula ditepis oleh gue.

"Apa, Rak? Kangeeen" katanya sambil terus mencoba menggelayuti lengan gue.

"Lepas! Lyra, lo! Itu ulah lo kan?" teriak gue di depan mukanya. Keterlaluan, kali ini Lyra udah keterlaluan. Iseng anak SMA seharusnya gak separah itu.

"Apa sih?" ucapnya polos atau sok polos? Gue menghela napas gak sabar. Bisa-bisanya Lyra sok bego padahal udah jelas-jelas dia biang keroknya.

"Jangan pura-pura bego, Lyra," desisku marah.

"Rakana! Apa? Aku nggak ngerti deh," katanya masih sok polos.

"Lo! Lo yang posting gambar itu kan?" kata gue dengan nada rendah. Setelah liat foto itu yang menjadi kontroversi di kalangan murid-murid, gue langsung yakin kalau pelakunya itu Lyra. Gue terlalu kenal Lyra.

"Gambar apa sih?" sangkalnya. Entah menyangkal entah pura-pura tidak tahu. Gue menggebrak meja kencang, itu membuatnya terkaget-kaget. Gue nggak peduli dia mati jantungan atau gimana. Lyra harus tanggung jawab.

"Rakana! Kamu kenapa sih? Gambar apa? Gambar cewek jablay itu yang lagi pose hot sama pacarnya? Hah!" teriaknya. Gue melotot denger dia ngomong buruk tentang Abel.

"Itu bukan Abel dan jangan sekali-sekali nyebut hal kasar tentang Abel," geram gue.

"Itu memang dia! Bukan aku yang posting juga! Kamu gak liat cewek itu bener-bener dia? Liat mukanya, Rak, mirip banget. Jangan sangkal terus!" teriaknya lagi.

"Lyra—"

"Kamu dibutakan oleh sikapnya yang sok suci tau nggak!" balasnya sebelum gue mengucapkan kalimat gue.

"Lyra, Abel memang suci,"sanggahku.

"Kalau dia memang suci, kenapa foto itu bisa sampai ada? Liat kan, Rak? Harusnya kamu kembali sama aku," serunya kencang. Amarah gue seakan tidak bisa dibendung lagi. Sulit buat gue nerima foto itu adalah foto Abel sedang melakukan hal yang tidak-tidak dengan lelaki. Tapi foto itu bukan rekayasa. Gue udah ngecek sendiri.

"Jangan egois, Lyra. Kita memang gak bisa terus-terusan 'bareng' seperti yang lo bilang. Gue punya perasaan. Lagian lo bilang, lo suka sama cowok anak sekolah internasional itu. You have to deal with it," kata gue. Kata-kata gue itu terdengar lemah bahkan bagi diri gue sendiri. Gue pergi gitu aja ninggalin Lyra yang.. yah, I don't care.

***

"Abel!" teriak gue ke Abel. Akhirnya gue menemukan cewek yang bikin gue berasa paling jahat sedunia. Lorong kelas sebelas ini sepi banget kalau udah waktunya pulang sekolah gini. Gue heran bisa ketemu dia di tempat seperti ini. Ah, mungkinkah dia menghindari bertemu orang-orang dan memilih menunggu lorong ini sepi sebelum pulang?

"A.. Ka.. Kak Rakana.." gugupnya. Itu sangat lucu jika saja situasinya tidak begini. Duh, Abel. Hari ini dia terlihat sama seperti sebelum-sebelumnya, terlihat kaku dan pendiam dengan senyumnya yang terkesan malu-malu tapi manis. Sayang wajahnya agak pucat dan matanya terlihat sayu.

"Hai," kata gue ringan. Dia membulatkan matanya. Sepertinya dia heran kenapa gue bisa se-slow ini ketemu dia. Jarinya lagi-lagi dimainkan. Gue penasaran apakah jari-jarinya sakit bila terus-terusan seperti itu.

"Mau kemana?" tanya gue karena dia tidak membalas sapaan gue tadi. Sebenarnya hanya basa-basi, gue berniat menanyakan tentang foto itu padanya.

"Mau ke..." jawabnya sambil celingukan seperti sedang tersesat. Tersesat di sekolah sendiri, dia semakin menggemaskan. Akhirnya gue memutuskan untuk bertanya daripada terus terganjal.

"Abel, foto—"

"Itu, aku gak bisa jawab apa-apa kalau tentang foto itu," sahutnya sambil berbalik meninggalkan gue. Kentara sekali dia panik dan takut. Lagi-lagi gue bikin dia jadi korban perasaan gue.

"Aku nggak bisa bilang itu bukan aku," lanjutnya setelah beberapa langkah. Gue kaget banget atas pernyataannya.

Tanpa sadar gue menariknya dan menyudutkannya ke tembok. Serta merta dia menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya. Lalu gue mendekatkan wajah ke wajahnya yang imut itu. Kini reaksinya adalah mengangkat tangang ke arah dada, berusaha mendorong dada gue dengan kekuatan sangat lemah. Terasa juga tangannya gemetar hebat.

Merasa kasihan, gue menghentikan kejahilan gue dan mengusap kepalanya lembut.

"Gue percaya lo. Siapapun yang ada di foto itu, gue tetep percaya lo," kata gue singkat. Dia membuka matanya dan membuka mulutnya hendak berkata-kata.

"Sabtu jam 8 di lapangan waktu itu," gue memotong ucapannya yang bahkan belum dimulai. Itulah ajakan kedua gue pergi bareng dia. Bukan karena ada bayang-bayang Lyra. Tapi karena dia adalah Abel dan gue sayang Abel.

TaeKwonDo Love StoryOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz