18 Hei, why?

604 35 5
                                    

18

Aku tidak masuk sekolah beberapa hari setelahnya.

Untung Daniel memberitahuku semua tugas yang aku harus kerjakan. Sehingga aku tidak ketinggalan pelajaran. Alikha juga menyemangatiku dengan lelucon dan gosip-gosip yang tersebar di sekolah. Aku mensyukuri kenyataan bahwa mereka tidak bertanya apa-apa tentang kejadian festival budaya itu.

Hari ini aku masuk sekolah dan harus melihat kegiatan ekstra taekwondo. Walaupun aku lelah, aku ingin mencoba melupakan cowok maniak itu. Aku harus menyibukkan diri dengan kegiatan OSIS ini.

"Hai, Bel. Kata Alikha lo sakit? Udah sembuh?" tanya Dio, kadiv divisi empat, divisi dimana aku bertugas.

"Hmm... udah sembuh kok. Sorry karena gue sakit taekwondo nggak ada yang ngeliatin,"aku meminta maaf padanya.

"Ah, selow aja, Bel. Nggak kenapa-kenapa kok," katanya sambil tersenyum.

"Kelas lo olahraga hari ini? Tumben pake baju olahraga," tanyanya. Aku memang sedang menggunakan baju olahraga.

"Oh, ini tadi abis pelajaran olahraga kan pelajarannya Bu Murtining, Bu Murtiningnya nggak ada, jadi pada nggak ganti baju. Pelajarannya Bu Murtining kebetulan pelajaran terakhir," kataku menjelaskan.

"Oalah, enak yah. Gue abis olahraga juga. Langsung ganti seragam, Bu Christin marah-marah kebauan keringet kita," dia tertawa. Aku tertawa kecil mendengar kelakarnya.

"Dio," cewek berambut lurus sepinggang memanggil lawan bicaraku ini. Lala, pacar Dio menghampiri kami. Lala juga anggota OSIS, tapi dari divisi delapan.

"Gue cabut duluan, Bel," Dio berpamitan padaku.

"Yoo.." kataku.

Aku pergi ke lapangan indoor. Seharusnya anak-anak taekwondo sudah mulai berlatih. Di depan pintu lapangan indoor aku tidak mendengar suara-suara khas kihap atau hitungan-hitungan pemanasan.

"Haloo.." kataku saat membuka pintu. Tak ada jawaban, tak ada orang.

Aku mengerutkan dahi lalu menengok jam tangan.

Jam gue gak telat atau kecepetan kok

Aku menelusuri tepi lapangan dan tidak menemukan tas-tas yang biasanya bergelimpangan di lantai. Ditinggalkan para pemiliknya berlatih. Akhirnya aku sampai di ruang yang menyimpan peralatan olah raga. Mulai dari jala untuk badminton sampai body protector taekwondo.

"Permisi," ucapku sambil mengetok gudang alat itu.

Pintunya tidak terkunci, jadi aku masuk ke dalamnya. Baunya apak seperti gudang pada umumnya. Ruangan itu gelap, sehingga aku mencari-cari saklar untuk menyalakan lampu. Aku sempat kesulitan menemukannya, karena letaknya berada di tengah ruangan, tergantung di bawah lampu. Penerangannya sendiri terbuat dari lampu lima watt kuning. Karena tidak ada orang, aku keluar. Tidak lupa aku mematikan lagi lampu yang nyalanya tak seberapa itu.

Brukk.

"Aduh," pekikku saat menubruk seseorang. Aku jatuh terduduk, menahan bobot badanku. Nyaris terjungkal jika tanganku tak sempat meraih mistar gawang untuk futsal. Belum reda rasa sakitku, rasa takutku muncul. Bayangan Miki dan teman-temannya berkelebat di hadapanku. Sialnya, gelap ruangan itu mampu mengaburkan wajah orang yang aku tubruk.

Tergesa-gesa aku bangun dari dudukku.

"Siapa itu?" suara itu bertanya padaku. Suara seorang cowok. Terdengar langkahnya masuk semakin dalam, menuju ke arahku. Aku hening, karena mengingat adegan Miki menyentuh wajahku. Aku masuk ke dalam gudang karena tak mungkin aku melewatinya yang berada di tengah jalan keluarku.

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now