24 Surprised

631 41 7
                                    


            Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Dua jam telah berlalu dari waktu yang Kak Rakana minta. Aku masih di sini, beberapa ratus meter dari taman itu. Menunggu hatiku memantapkan pilihannya, datang pada Kak Rakana atau pergi saja tanpa menemuinya.

Menemuinya seakan aku mengambil kesempatan berdekatan dengannya padahal aku sudang memiliki masalah yang harus diselesaikan. Menemuinya juga berarti aku menyeretnya masuk dalam masalahku. Tapi tidak menemuinya membuatku tersiksa. Tidak menemuinya bisa membuatku kehilangan bahu lain untuk kupinjam. Bukankah Kak Rakana bilang ia memercayaiku?

Aku berdiri, memutuskan menemui Kak Rakana. Tapi tunggu, masihkah Kak Rakana menungguku? Ini sudah dua jam. Matahari bersinar cukup panas sekalipun belum terlalu siang. Bimbang kembali menghantuiku.

Disinilah aku, di hadapan Kak Rakana—akhirnya. Aku bersyukur karena ia masih menungguku dengan handuk kecil yang separuh basah karena keringat.

"Wow, akhirnya dateng juga," katanya sarat kelegaan.

"Maaf, Kak—"

"Ayo latihan! Mulai pemanasan sendiri ya. Tadi udah soalnya," potongnya.

Aku menengadah ke atas. Panas matahari menyengat kulitku. Bukannya takut kulitku berubah jadi hitam, tapi panasnya begitu nyelekit di kulit.

"Panas ya? Ke yang indoor aja yuk, Bel," kata Kak Rakana sambil menarik tanganku ke arah gedung yang terletak di samping taman. Luas bangunan itu adalah tiga kali lapangan basket. Aku tak tahu ada lapangan olahraga sebesar ini di taman ini. Beberapa cowok dan cewek berlatih basket di ujung terjauh dari pintu masuk. Aku dan Kak Rakana mengambil spot terdekat dengan pintu masuk tadi.

"Aku nggak tau kalau di sini ada lapangan sebesar ini," gumamku lebih pada diri sendiri.

"Fasilitas ini memang baru. Sekitar tiga bulan?" ucap Kak Rakana memberi info. Aku mengangguk-angguk sambil menikmati interior lapangan. Sebenarnya karena bingung harus apa.

"Ayo pemanasan!" seru Kak Rakana menghentikan lamunanku. Aku mengangguk kecil dan mulai melakukan pemanasan. Kepala, tangan, lalu kaki. Statis lalu dinamis. Kak Rakana tampak asik melakukan beberapa tendangan dasar sambil sesekali melirikku. Aku tidak hanya merasa risih, pipiku juga terasa terbakar saking malunya.

"Udah belum, Bel?"tanya Kak Rakana.

"Udah, Kak," sahutku. Duh, baru pemanasan saja aku sudah berkeringat.

"Dolyo ya. Sepuluh kali kanan, sepuluh kiri. Sijak," perintah Kak Rakana kontan. Aku menurutinya dan susah payah mengikuti arahannya. Beberapa kali tendanganku bahkan tak mengenai sasaran yang dipegang Kak Rakana.

"Kaki yang menjejak bukan hanya jadi tumpuan, jadi poros juga. Nah! Iya diputar!" instruksinya berjalan lancar. Aku melakukannya dengan baik. Walaupun sekali atau dua kali aku terjatuh karena kesalahan kecil. Ini terasa menyenangkan sekali.

"Kak! Bishaa... istirahaaat.. dhulu?" selaku di antara latihan kami. Lelah kurasakan di sendi-sendiku dan napasku terengah-engah. Memang sudah beberapa gerakan kami lakukan bergantian. Dolyo, ap chagi, dwi chagi ­–yang selau salah kulakukan, serta idan.

Bergerak dan berkeringat membuat hatiku terasa ringan. Tak jarang aku tersenyum atau tertawa kecil di sela-sela tendanganku karena sesekali Kak Rakana pura-pura mengejekku atau mengajukan lelucon lucu.

"Capek ya? Haha, maaf ya, Kakak terlalu semangat. Duduk dulu, Bel," katanya sambil tersenyum. Melihat senyumnya yang begitu membuat perutku mulas saking senangnya. Ia mengelap keringatnya dengan handuk dan aku hanya merutuki kebodohanku karena tidak membawa handuk.

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now