21 Terlambatkah?

514 32 7
                                    


Ini pendek~ maaf~

aku belum UAS dan belum dapet tempat PKL~ jadi bingung+galau sendiri

/derita mahasiswa tingkat akhir/

keep read my story yaah~

21 Terlambatkah?

Garis-garis melintang di ujung jalan dibuat dengan menoreh-norehkan kayu pendek ke tanah yang setengah basah. Galau. Anak-anak kekinian menyebut perasaan ini. Bukan bermaksud cengeng atau melebih-lebihkan. Gue benar-benar bingung dengan perasaan gue sendiri. Rasanya terlalu cepet bilang gue udah move on dari Lyra. Terlalu cepet juga ngakuin gue sayang sama Abel.

Serakahnya gue, pikiran kalau gue bisa dapet keduanya bikin gue ngebenci diri gue sendiri. Keputusan yang harusnya tidak dipersulit dengan keegoisan hati.

Gue selalu sayang Lyra; sejak kecil, sejak seragam putih merah melekat di tubuh kami. Rasa sayang itu ada seiring rasa penasaran gue sama Abel juga keinginan gue buat ngelindungin Abel dari hal-hal yang ditakutinya.

Kesalahan gue, merasa mampu melindungi keduanya. Padahal tak satupun layak gue genggam karena tamaknya hati gue.

"Rakana," seru Aldio.

"Apa?" tanya gue ke Aldio.

"Lo kayak kehilangan induk. Inget lho, dua minggu lagi lo kejuaraan. Gak lucu kalah gara-gara perasaan remeh," Aldio jelas-jelas memarahi gue.

Gue tersenyum miring. Apa bener perasaan gue ini remeh. Akh, gue ngacak rambut gue frustasi. Aldio sialan.

"Selesaiin, atau lo kalah telak cuma gara-gara ini," kata Aldio lanjut.

"Sialan lo, kalau gue bisa selesaiin ini juga dari lama gue selesaiin," gue jutek sendiri. Frustasi sendiri.

Aldio menghindar dari gue sebelum gue berbuat yang aneh-aneh. Berteman sama gue bikin dia paham kalau gue frustasi bisa ngajak sparring dadakan.

***

Buku-buku di deretan pojok amat sangat tebal tertutup debu. Beberapa memang bukan bacaan yang akan diminati anak SMA; buku-buku filsafat atau teologi. Di antara buku-buku yang tebalnya nyaris lima sentimeter itu, ada sebuah buku yang tipis. Tipisnya buku itu mungkin membangkitkan rasa heran beberapa murid. Sehingga debu tebal tidak bersarang di sampulnya. Tanda buku itu sering diganggu gugat dari tempatnya.

Gue ngerasa Abel seperti buku itu. Tipis dan rapuh tapi menarik; tidak pada tempatnya. Tapi itulah yang membuatnya menarik. Menarik untuk dilindungi, digenggam dengan lembut, dijaga baik-baik hatinya. Berbeda dengan Lyra yang tumbuh menjadi gadis cantik dengan paras sempurna. Dikagumi namun dapat melindungi diri sendiri.

Sesaat gue menahan napas.

Itu jawabannya, Lyra adalah bagian dari diri gue. Teman dari masa kecil yang telah sama-sama bertumbuh. Sementara Abel adalah seseorang yang mengusik sel-sel roman gue sejak pertama gue ditabrak dia. Rasa gue ke Lyra dan rasa gue ke Abel bukan hal yang sama.

Gue ngerasa bersalah karena sempat meragukan perasaan gue. Membuat keegoisan gue jadi duri bagi Abel.

Abel. Bisa nggak gue jadi pelindung lo? Setelah semua yang gue lakuin ke lo, terlambatkah gue bilang gue sayang sama lo?


TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now