10 Being a Mascot

835 49 11
                                    

1o Being a Mascot

Maafkan bila ada typo

"Boys! Girls! Okay. Attention, PLEASE!! Next month our school gonna make an annual culture festival," Daniel sebagai ketua kelas mengoceh di depan kelas. Beberapa anak langsung mengemukakan protes terselubung.

Hey, festival pasti seru kan?

"Tahun ini, tema kita mau dari negara apa? Kita harus lebih dulu menentukan pilihan dari kelas lain dan mengajukannya ke panitia festival. Supaya kelas kita gak kaya tahun kemaren," sura Daniel kian mengecil di akhir kalimat. Aku sudah mendengar dari Daniel kelas kami—sebelum aku pindah—menggunakan tema negara Filipina. It was sucks, curhat Daniel. Sebenarnya itu salah kami yang tidak buru-buru submit negara yang budayanya akan diusung selama festival berlangsung, sehingga stok negara-negara yang budayanya worth it to see sudah habis dipakai oleh puluhan kelas lain, mengingat jumlah kelas di sekolah kami cukup banyak.

"Mau ngasih tau, "kataku sambil berdiri di kursiku.

"Ada beberapa negara yang kelas lain udah submit ke panitia. Korea, Kanada, sama India. Selain negara itu masih boleh dipilih," kataku melanjutkan. Beberapa anak mulai berkasak-kusuk semangat. Tentu saja karena pilihan masih banyak. Aku melirik Daniel yang kini memasang tampang makasih-banget ke arahku yang kubalas dengan senyuman.

Aku kembali berkutat dengan laporan mingguanku yang harus kuberikan ke Dio besok. Tentang evaluasi terhadap kegiatan ekstra taekwondo. Membiarkan teman-temanku melakukan jajak pendapat terhadap festival budaya akhir bulan depan.

"Gimana, Bel, lo bisa kan?" tanya Redifa teman sekelasku. Aku gelagapan menjawabnya, karena tidak mengikuti alur pembicaraan.

"Eh? Apa?"tanyaku sambil tersipu malu.

"Ah, Abel!" beberapa anak meneriakiku sebal. Aku menaikkan kedua tanganku dan membentuk simbol peace.

"We have decided. Japan. Our theme," ujar Redifa.

"Sounds good. Then?" tanyaku masih tidak mengerti dengan percakapan ini.

"We need a mascot. We also have dicided that you'll be our mascot," lanjut Redifa.

"Hah? Kok gue?" tanyaku panik pada siapapun di ruangan itu. Aku menatap Daniel dengan pandangan memelas, memohon bantuannya. Tapi sialnya, dia malah mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kenapa gue, Dif?" tanyaku ke Redifa, karena dialah yang sedari tadi menjawab pertanyaanku.

"Abis lo sibuk, Bel," celetuk Mya, salah satu anggota kelasku juga. Aku hanya menoleh dan menatap teman-temanku tak mengerti.

"Yep, jadi maskot kan cuma duduk cantik sama didandanin. Lo kerja sambil tidur juga boleh," ucap Ines, teman sebangku Mya. Seluruh anak tertawa mendengar kata-kata Ines, beberapa malah mendukung.

"Lo harus bisa, Bel. Nanti lo tinggal duduk diem didandanin sama anak-anak," kata Redifa tanpa memberiku kesempatan untuk bicara.

Maskot? Emangnya aku cocok didandanin kaya bola kapas ala maskot Koala's?

"Oke. Next part of this meeting," suara Daniel menggema di telingaku, menyuruh anak-anak membicarakan hal lain tentang festival budaya nanti. Ingatkan aku untuk memberi pelajaran pada Daniel. Uh, maskot? Maskot dari Jepang? Binatang apa? Kartun apa? Pasti aku akan didandani seperti makhluk-makhluk bodoh. Aku hanya bisa bersedih di depan laporanku.

TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now