Bab I - Prasetya Alfarizzi

73.2K 5.3K 350
                                    

"Riz, tadi malam lo jalan sama Ghea?"

Seorang Laki-laki meuang air panas ke dalam cangkir merah berlogo perusahaan tempat mereka bernaung. Bunyi adukan cairan bertengkar dengan dentingan sendok yang memukul dinding porselin cangkir. Kepulan uap asap bertebaran di udara bersamaan dengan bau kopi instant yang menyeruak ke seluruh penjuru pantry berukuran 5 X 5 meter tersebut.

Tidak jauh dari situ, tepatnya di sisi kanan ruangan, seorang pria berkemeja biru navy duduk di depan meja persegi. Dia mengusap dagu kasar yang ditumbuhi bulu-bulu halus--hasil tidak shaving seminggu--sembari membaca portal berita online di ponsel pintarnya. Pria itu mengangguk dua kali menanggapi pertanyaan temannya. Ketika sadar sedang dipunggungi, dia kembali menjawab dengan gumaman.

Bunyi cangkir beradu dengan piring kecil sebagai alas ketika Rama--pria berambut cepak tadi--meletakan cangkirnya ke meja dan duduk di depan Rizi. Cupang hidung lelaki itu kembang kempis. Ia mengendus sebentar kopinya lalu menyeruput dengan berisik. Mengipas lidahnya yang kepanasan, Rama bertanya, "Jadi, dia gimana? hebat di ranjang?"

Ditikam pertanyaan frontal oleh temannya memanglah sudah biasa bagi Rizi. Ini selalu menjadi topik obrolan mereka setiap hari dan hampir menjadi ritual aneh di kantor. Namun, untuk kali ini, perut Rizi mual tiba-tiba. Membahas urusan seks saat semalam penuh melakukan seks memang bisa mengundang muntah. Rasa-rasanya, nafsu Rizi sudah habis terbakar semalaman penuh. Tidak lagi tersisa untuk sekadar diobrolkan.

"Lo tau, Ram? kalo lo abis onani, dan keluar tiga kali berturut-turut, setelah itu gue sodorin paha Maria Ozawa di depan idung lo pun gue yakin lo ga akan napsu." Rizi berkata tanpa melepas pandangan dari ponsel. Portal beritanya sudah berganti dengan laman Instagram. Dia sedang melihat akun Dagelan, mencari sesuatu yang lucu untuk ditertawakan--semacam dopping baginya di pagi hari.

Rama terkekeh pelan, "Si Ghea kurang berkesan yah, Zi? sampe-sampe, lo ga bersemangat untuk cerita?" goda pria itu lagi. FYI, di kantor, Rama dijuluki mulut 'Metro' karena menggali informasi soal aktifitas ranjang teman-teman kantor merupakan salah satu dari sekian banyak kegemarannya. Tanpa sungkan pria itu bisa melempar pertanyaan-pertanyaan vulgar. Tidak peduli dengan siapa dia berbicara. Tentu Prasetya Alfarizzi adalah satu dari sekian banyak korbannya.

Rizi menjawab, "Terlalu berkesan dan bikin gue ga tidur sampai pagi," paparnya. Ada nada tak suka yang kentara dalam suaranya. "Udah?" tanyanya, "sekarang, lo print LKH hasil penjualan tiket kemarin juga tiga hari lalu dan taruh di meja gue. Sekalian lo cek invoice yang masuk dari agent," perintah Rizi setengah membentak.

Rama menyeringai, pangkal hidungnya ia gerakan sampai membentuk kerutan di antara kedua alis. "Ya salaam Riz," ia menggerutu, "kopi gue juga baru dua kali gue minum. Biarin gue napas dulu, napaaa?" Protes Rama dengan nada bicara layaknya orang Betawi pada umumnya.

Tangan Rizi terkibas. Memberi gerakan pengusiran yang sengaja didramatisir. Pria di hadapannya menanggapi dengan putaran bola mata. Bibirnya ia manyunkan seperti perempuan manja dalam mode merajuk. Rama kemudian bergerak seolah-olah sedang mengibaskan rambut panjang tak kasatmata di depan dadanya. "Aku benci Kang Mas Izzi, aku bencih," ujarnya hiperbolis.

Demi Tuhan perut Rizi geli melihat kelakuan absurd Rama. Benar-benar minta dicaci. Apa kabar otot gede, kepala pelontos, postur tegapnya? Ck!

Rizi bergerak mencari bahan bagus yang bisa ia pecahkan di kepala Rama. Sementara Rama buru-buru berdiri, dia tau Rizi tidak pernah main-main dengan gertakan. Bingkai foto pernah melayang ke jidatnya seminggu lalu. Baru kemarin asbak melamin kecil menghantam punggungnya saat dia meledek 'bos'-nya itu.

Rama melimbai pergi. Posisinya sebagai ticcket accounting memanglah cukup menyita banyak waktu. Dia tidak bisa berleha-leha karena harus mengurusi tagihan-tagihan ke agen, mempersiapkan kebutuhan kantor, belum lagi membuat LKH (Laporan Khas Harian) yang sudah tiga hari ini dia timbun begitu saja di PC kantor. Untung saja, sebagai finance manajer, Rizi cukup mengerti dengan kesibukan Rama sebagai calon pengantin yang juga sedang mengurusi beberapa hal untuk pernikahannya. Jadi, teman sekaligus atasannya itu memberikan kelonggaran bagi Rama dengan mengurangi jatah laporannya menjadi tiga kali dalam seminggu, khusus dalam bulan ini.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang