Bab XXVI - Deal With The Feeling

19.6K 3.3K 708
                                    

Sori banget kalau tulisannya jadi nggak asik dan kosakata menipis. Sesungguhnya berapa bulan ini lagi kesusahan menulis. Selamat baca. Jangan komentar "akhirnya apdet setelah seribu purnama. purnama. kntl!"

Aku tunggu komen 1000 k di part kemarin baru aku apdet part ini. Wkwk. Itu target yg perna kubilang tapi tydak kutagih :P

.

.

.

Dunia Rizi nyaris sempurna, pagi tadi. Suci menerima cangkir teh dan makan selembar roti yang ia tawarakan. Wanita itu juga bersedia menunda pamit sampai Maya bangun. Berhasil menahan Suci di rumah lebih dari tiga jam, rasanya seperti menang giveaway dengan 10,000 pesaing. Melalui Maya, kemujuran lain pun terjadi. Suci bilang boleh untuk tawaran antar pulang

Antusiasme bangun pagi bersama, sarapan semeja, berangkat bareng, raib oleh kemunculan pria familier itu. Cukup sekali toleh, Rizi tahu kehadirannya sempurna lengser. Perhatian Suci bulat terarah pada si penunggang mobil champagne.

"Mas Izzi. Tolong pulang sekarang!"

Ketegangan menguar dari bahu kurus Suci. Rizi benci menangkap rasa takut walau hanya sepercik. Ada yang tak beres dari koneksi mata kilat itu. Gerak-gerik Suci siratkan aku dalam bahaya. Begitu dapati satu langkah mundur wanita itu, Rizi mengitari mobil hingga mereka bersemuka.

"Rama paling nggak bisa tahan lapar. Mustahil kalau rumah ini nggak punya makanan." Semena-mena dibelokkannya haluan Suci menghadap rumah. "Walau kamu ngerasa bakal hidup meski nggak makan setahun, seenggaknya, jangan bikin lambung kamu jobless."

"Ci, tunggu! Aku mau bicara!" cegat lelaki di belakang.

Rizi memicing, tak tenteram. Walau tak bisa meramal bahaya macam apa yang dibawa lelaki ini, lewat remasan pelan di bahu, dia kirim sinyal gunakan tubuhku untuk berlindung. Tahu-tahu, Suci berekasi cepat datangi si pria. Romannya siap melabrak. Tak lepas dari amatan, bagaimana perempuan kecil itu mendongsok dada si lelaki lalu teriaki peringatan agar tak diganggu. Tak ada usaha melawan balik, bahkan setelah lehernya digarisi kuku, kerah baju dibuat porak-parik, hingga dada menjadi samsak, si pria berserah.

"Berhenti ganggu aku! Berhenti ganggu aku!"

"Ci ...." pelas si pria. "Sampai kapan kamu kayak gini, Ciii?"

"Jangan datang di hidup aku lagi!"

"Tapi kamu izinin orang lain masuk ke hidup kamu."

"Berhenti ganggu aku! Bajingan! Pemerk—" Tiga kata sisanya disimpan lagi. Suci tarik diri. Sempat linglung sebelum terang-terangan merabut carik-carik rambutnya. Putus asa pada pertemuan mendadak ini. "Pergi! Tinggalin aku sendiri!"

Dada Rizi bergemuruh. Dengar Suci bertutur pedas sudah biasa. Saksikan dirinya dilalap emosi pun sudah pernah. Tapi, berbuat kasar dengan sengaja sampai kehilangan kendali diri? Ini tangkapan baru nan asing. Dia perlu berkenalan dengan sisi Suci Medina itu. Tetapi, ada hal lain yang lebih dominasi sekarang; perasaan tidak suka, berada di antara dua orang yang punya urusan di luar pengetahuannya. Terlebih, jika salah seorang dari mereka adalah perempuan yang semalam membuatnya menunda pejam demi menjaga tidurnya.

Ada yang tak beres! Batin Rizi, tamu tak diundang ini, koneksikan Suci dengan sebuah ketakutan yang seharusnya tidak dikunjungi sendirian. Rizi ingin dilibatkan. Meski untuk hal paling mengerikan dalam hidup Suci. Sayang sekali, kesigapan untuk menenangkan ditangkal cepat. Suci tarik diri dengan imbauan tegas agar tak didekati.

ImpromptuWhere stories live. Discover now