BAB XXII - Perasaan Yang Selesai

32.9K 4.4K 505
                                    

Semuanya masih seperti mimpi.

Prasetya Alfarizzi meninju undakan tangga beton tempat ia merenung sore itu. Berharap, kesakitan yang tercipta mengembalikan ke realita. Barangkali, semua yang dilalui berjam-jam lalu hanyalah rekayasa pikiran. Namun, hingga buku-buku jarinya memar, tak ada yang berubah dari keadaan ini.


Dia tidak bermimpi. Juga pikirannya tidak sedang direkayasa. Fakta itu sudah final.

"Aku baru tahu, Prasetya Alfarizzi menyukai perempuan bersuami, punya satu anak, yang bahkan sampai hari ini lupa pada tanggung jawabnya. Karena mungkin... sibuk jatuh cinta pada laki-laki potensial kayak kamu?"

Gamparan kenyataan yang diberikan Ridara pagi tadi benar-benar sukses menghancurkan Rizi. Ingin sekali Rizi menampik, tapi, tak ada celah untuk berkelit. Satu-satunya yang salah adalah, pendapat 'sibuk jatuh cinta pada laki-laki lain'.

Sebab di sini, Rizzi yang menggebu-gebu atas perasaannya. Jatuh cinta sendiri. Sementara Suci sudah tegas membunuh perasaan Rizi sejak awal. Tapi, justru karena penolakan Suci itulah yang sekarang membuat penjelasan Ridara terasa sangat masuk akal untuk ditampik.

Dalam kegamangan, Rizi bangkit dari tempat menyepinya beberapa jam ini. Laki-laki itu bertolak pulang. Mengabaikan Rama yang menanyakan apakah ia akan mampir di kostan Suci sore ini karena seharian tadi Pandu dan Dita belum memberikan kabar sama sekali soal perkembangan adik iparnya.

Rizi tak peduli.

Tidak akan ada lagi pantauan sore ini-atau mungkin juga... seterusnya.

Suci Medina bukan lagi menjadi urusannya.

***

Lepas magrib, Rizi sampai di rumah. Bau masakan menyambutnya dari arah dapur. Rasanya sudah lama sekali rumah ini terasa seperti gedung kosong tak berpenghuni. Tak ada aktivitas manusiawi di dalamnya. Mendapati 'kehidupan' itu di dapur rumahnya, Rizi tersenyum. Secercah optimisme muncul di sisa-sisa tenaga.

Mari melupakan dia dan fokus pada keluargamu!

"Dor." Rizi menusuk telunjuk ke pinggang Maya. Ibunya terperanjat.

"ANAK SILUMAN KAMU!" maki wanita itu yang langsung disambut tawa lebar Rizi. Ah, betapa ia merindukan sosok ibunya yang spontan dan cerewet tapi paling perhatian.

"Ibu masak apa? Cicak goreng tepung?"

"Halah, nggak usah sok tanya-tanya! Jangankan makan, duduk di kursi ruang tamu barang lima menit aja enggak pernah."

Terkekeh, laki-laki itu mencium pipi ibunya lama. "Masak saja. Izi makan apa pun yang ibu masak malam ini."

"Benar?"

Semangat Maya membuat Rizi terpelintir kegetiran. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sampai-sampai lupa bahwa ada seorang perempuan di rumah yang menunggunya. Begitu merindukan interaksi dengannya.

Anggukan Rizi disambut senyum lebar ibunya. "Ibu bikin mendoan, sayur capcay pakai sosis, sama ikan asin balado. Kamu mandi dulu. Lepas itu, kita makan sama-sama."

***

Hanya butuh setengah jam sampai Rizi kembali ke meja makan. Semua makanan yang disebutkan Maya sudah tertata rapi. Kali ini, hanya ada dua piring di sebelah kiri dan kanan. Tidak ada piring besar putih yang biasanya ada di kepala meja. Pemandangan itu menandakan bahwa makan malam kali ini hanya diisi oleh dua orang saja. Tidak ada Ridwan dengan wajah rumit memandangi makanan dan mendengarkan obrolan anak istrinya seolah dua manusia itu hanya orang asing yang kebetulan bersebelahan meja di dalam restoran cepat saji.

ImpromptuWhere stories live. Discover now