Bab XXIII - Itu Dari Kamu, Ci!

22K 3.5K 371
                                    

Prasetya Alfarizzi mungkin buat geger seisi Devisi Keuangan sewaktu Mikuna—salah seorang mahasiswi magang—letakkan kotak sarapan di meja kerjanya lengkap dengan sticky note berpesan romantis. Atau, menyedot perhatian teman-temannya karena makan siang dengan perempuan berbeda setiap harinya. Bahkan, paling membanggakan, dia kencan dengan anak salah seorang penanam modal di perusahan tempatnya bernaung.

Namun, Rama punya definisi lain dari semua pemandangan yang ia lihat berapa hari belakangan. Semakin Rizi membangun kesan player, dia justru terlihat mati-matian menutup lebam-lebam di hati karena satu sosok: Suci Medina. Perempuan yang berhasil memberi retakan pada sisi casanova Rizi, sekaligus membuat Rama percaya bahwa si pemikat wanita juga punya titik takluk. 

Seperti kehilangan perahu terakhir penyelamat, semua yang Rizi lakukan adalah kombinasi dari putus asa, hilang harap.

Siang itu, bertemu Rizi di musalah kantor, berikan kejutan lain pada Rama. Laki-laki itu bersandar pada dinding pojokan. Ada Al-quran kecil di pangkuan. Namun, pandangannya jatuh pada lantai. Apa-apaan ini? Sedang apa Rizi datang ke Rumah Tuhan? Tentu bukan untuk menghitung rumbai-rumbai sajadah, kan?

“Luka lo udah sembuh?” Rama hampiri. Sejak adegan tinju-meninju berapa hari lalu, mereka belum bertegur sapa.

Angkat kepala, Prasetya Alfarizzi merespons datar, “Luka apa?”

Dengan gerakan dagu, Rama menunjuk ‘karya ciptanya’ di wajah lelaki itu.

“Oh, ini? Gue pikir digigit nyamuk.”

Jawaban yang menyuarakan sinisme kental. Rama tertawa mencemooh. Patah hati menyulap Rizi berduka senorak ini? Oh, ya, jangan lupakan soal insyaf mendadak. Sungguh menggelitik. Sang Don Juan kena batunya! Baru Suci Medina, yang membuatnya andalkan Tuhan dalam kecewa. Ha-ha. Kemana one night stand berantai setiap kali putus dengan seseorang?

Digandeng Mikuna saja Rizi terkejut, lalu otomatis jaga jarak. Diberikan kecupan kecil oleh teman makan siangya, tak sadar, Rizi hilang ke kamar mandi dan kembali dengan wajah basah. Rama melihatnya! Bagaimana gulungan tisu digunakan lelaki itu menghapus bekas ciuman. Kesimpulannya, Rizi risih pada perempuan lain.  

Ho-ho, apa itu? Seperti ciri-ciri pria yang patuh pada satu cinta dan berusaha menjaga dirinya untuk perempuan yang dicintai. Itu! Makan tuh cinta sejati! Saat tak ada yang melarang, namun naluri mengkomando untuk proteksi hati.

“Nyamuk blasteran abis kawin memang sadis sih. Muka lo jadi kayak ubi ungu gitu.”

“Thanks udah hibur gue. Kapan-kapan, gue ketawa.”

“Oh, ternyata lo menunggu dihibur?” Berusaha terdengar simpatik. “Sori, gue kurang perasa. Jadi, boleh gue limpahi lo perhatian lebih?”

Kilatan di mata Rizi berarti ‘lo mending diem atau gue permudah menuju Alam Baqa.

Bangkit, laki-laki itu berlenggang pergi. Rama buntuti sampai di tangga. “Mens lo nggak selesai-selesai, ya Zi? Gue perhatiin mood swing setiap saat.”

Tak acuh.

“Gara-gara Suci?”

Terhenti langkah.

“Lo patah hati karena Suc—” Begitu cepat, Prasetya Alfarizzi putar haluan, hampiri Rama. Kelakar beraroma jenaka berapa menit lalu berganti roman bengis.

“Sekali lagi lo sebut nama dia, gue bikin hancur muka blasteran lo."

Ancaman dibalas seringai tak gentar. “Cie, yang nggak mampu dengar namanya,” celutuk Rama, tertawa. “Nah, sekarang gue baru percaya kalau lo beneran cinta sama ipar gue. Otomatis, pertanyaan lo tentang kenapa gue bisa suka sama Pratiwi-gendut-muka-standart- itu sudah terjawab, bukan?”

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang