Bab XII - Would You Like to Play This 'Game' With Me?

37.4K 4.1K 341
                                    


Beberapa orang--termasuk juga orang yang kamu benci--mungkin diciptakan untuk membuatmu lupa sejenak dengan masalah. Orang-orang yang biasa kamu abaikan atas dasar ketidaknyamanan kadang malah mampu membuatmu nyaman dengan cara mereka yang tidak pernah kamu suka sebelumnya. Dan... Suci merasakannya malam ini, dengan seseorang laki-laki yang bahkan beberapa jam lalu dibentaknya.

Mengabaikan sejenak pikirannya yang seperti benang kusut, Suci melirik Rizi hanya untuk membuat penilaian singkat. Ia lantas berkesimpulan, orang-orang seperti Rizi ini sebenarnya berpotensi membuatnya tertawa lepas. Beberapa kali bertemu, mereka hanya sibuk berdebat sampai-sampai lupa mencari potensi itu. Dan ternyata, setelah meniadakan rasa benci yang bercokol di dada, ia mulai bisa menangkap aura menyenangkan dari seorang Prasetya Alfarizzi.

Setidaknya untuk dua jam awal kebersamaan mereka, Suci bisa menyimpulkan bahwa Rizi tidak buruk untuk dijadikan teman mengobrol. Laki-laki itu cukup koperatif, bisa memecah awkward moment dengan caranya yang menyebalkan seperti menginjak rem tiba-tiba, atau menekan klakson mobil berkali-kali padahal jalanan di depannya cukup sepi. Dan semua tingkah anehnya itu malah membuat seorang Suci Medina tertawa. Sekarang wanita itu percaya bahwa kenistaan bisa ditulari dalam pergaulan. Seperti halnya Rizi yang terjangkit virus nista dari Rama.

Dibalik kegilaan itu, Suci patut bersyukur satu hal bahwa Rizi tidak menulari sifat rempong Rama yang suka mengais-ngais rentetan masalah dan mengangkatya untuk dikulik seperti hidangan enak. Sepintas, Rizi kelihatan tidak tertarik masuk dalam arus permainan bernama sebab-akibat. Pria itu tidak menyinggung sedikit pun kejadian tadi. Suci menyimpulkan, semua kemarahan Rizi di Ballroom hotel tadi, hanya sebuah bentuk protes atas sikap Suci yang sedikit kurang ajar kepada orang yang lebih tua, bukan tindakan ikut campur apalagi ingin tahu.

Rizi sendiri hanya diam menikmati penasarannya. Tidak berusaha menggali jawaban untuk pertanyaan yang datang menggedor-gedor otaknya, tentang siapa Suci untuk Rendrawan? Kenapa Suci seolah melupakan soal kesantunan saat berinteraksi dengan sosok terhormat seperti Rendrawan? Namun, pria itu cukup tahu diri. Sebagian atas dirinya merasa tidak pantas terlibat ataupun sekadar bertanya: apa dan mengapa?

Pada akhirnya ... keduanya sepakat mengabaikan isi kepala yang rusuh meminta perhatian. Menginjak rasa penasaran yang menggaruk-garuk lidah untuk bertanya dan malah memilih untuk menjadi 'asik' satu dan lainnya.

Dan ... dua jam awal ini, Suci dan Rizi hanya membelah jalan tanpa tujuan. Membahas sesuatu yang paling tidak penting sejagad raya. Yaitu tentang istilah 'lidi-lidian' dan hal bullshit lainnya. Beruntung, saat melewati jalan dan membaca sebuah spanduk tentang upacara 17-an, Rizi tiba-tiba mengganti topik dengan berceloteh tentang pengalamannya waktu mengikuti Paskibraka, yang ditanggapi Suci dengan senyum tipis.

Kepala Rizi terputar ke samping, melirik Suci. Dilihatnya wanita itu membungkus lengan dengan kedua telapak tangan dan menggosokan dengan gerakan vertikal. Sambil menggigit bibir bawahnya yang bergetar samar, Suci menyelipkan tangan ke dalam lipatan ketiak dan memeluk tubuhnya sendiri sebagai alternatif menghangatkan diri.

Mata Rizi menyipit meniti kebaya yang digunakan Suci. Berlengan pendek, dengan semua bahan brokat juga ditutupi kain tile yang membuat beberapa sisi kebayanya tembus langsung ke kulit wanita itu. Belum lagi potongan lebar kerah dan bagian punggung yang terbuka berbentuk V.

"Dingin?" Rizi mengurangi pijakan kakinya pada pedal gas, spontan laju mobil mereka berkurang.

Suci menggeleng sebagai jawaban yang dipalsukan, wanita itu pura-pura terlihat baik dengan melempar senyum hangat. Bagaimanapun, sebagai penumpang tak diundang, ia tidak mau menuntut macam-macam pada Rizi apalagi meminta pria itu mematikan AC walaupun tubuhnya kedinginan parah.

ImpromptuWhere stories live. Discover now