BAB XIII - Takluk

38.1K 4.5K 705
                                    

"Ci ini aku, Dilan."

Dilan.

Dilan.

Dilan.

Nama itu terputar mode repeat. Seperti desisan menganggu di pendengaran Suci. Wanita itu membatu dalam posisi. Ada detak yang menghentak kuat meninju dada Suci saat itu hingga ia tak lagi mendengar dan merasakan hal lain kecuali pompaan jantungnya sendiri. Warung bakso pinggir jalan yang tadinya dibungkus riuh suara pengunjung mendadak senyap dengan semua pergerakan yang melambat.

Ada jeda cukup lama sebelum Suci menurunkan ponsel yang sedari tadi menempel di kuping. Ia membuka cashing Hp, menghentakan tangan dengan gerakan naik turun. Baterai ponsel lantas terlepas ke meja. Dengan kasar, Suci mencabut sim card. Menit selanjutnya, benda persegi berwarna merah itu patah di dalam tangannya.

"Ci," Rizi menegur. Lelaki itu mendiamkan segumpal mie di pipi dalamnya. Ia memerhatikan perubahan ekspresi wanita di depannya dengan kernyitan di dahi. "Kenapa?" pandangan Rizi beralih pada sim card patah yang Suci buang begitu saja ke atas meja.

Menggeleng, Suci berdiri, meraih tas punggungnya di bangku. "Mas Izzi makasih untuk traktirannya. Aku balik duluan." tak menunggu jawaban, ia berlalu dengan langkah sedikit tergesa.

Ada jeda beberapa menit sebelum Rizi sadar dan berdiri mengejar Suci. Ia menerobos beberapa orang yang masuk berdesakan di pintu warung itu. Ketika mendekat, diraihnya tangan Suci kuat. Gadis itu lantas berbalik kaget dan cepat-cepat menghapus matanya yang berair. Melihat itu... Prasetya Alfarizzi tertegun.

Jujur, ini pertama kalinya Rizi dihadapkan dengan perempuan seperti Suci. Perempuan dengan mood dan ekspresi seperti roller coaster. Baru dua jam lalu gadis itu tertawa lepas, melempar cengiran konyol, dan mencandai Rizzi dengan guyonan. Sekarang, ia berubah lagi ke mode normalnya--pendiam dan antipati.

Rzzi bertanya tenang, "Kamu kenapa? Ada yang sakit?" suaranya terselip nada khawatir yang kental. Pria itu mengamati Suci lamat-lamat.
Perempuan di depannya malah menarik tangan dari genggaman Rizi dan mundur beberapa langkah.

"Aku ga apa-apa, Mas Izzi."

"Ga pa-pa gimana?" intonasi suara Rizi mulai tak senang. "Kamu nangis dan kamu masih bilang ga apa-apa?"

Dengan punggung tangan, Suci mengapus air mata. Dia berujar dalam  senyum yang dibuat-buat, "Beneran ga pa-pa. Aku gak nangis Mas Izzi," kilahnya. "Baksonya kepedesan tadi."

"Kepedesan apanya? Kamu bahkan belum sempat nyentuh bakso kamu!" bentak Rizi maha emosi. Sesungguhnya ia mulai bosan dengan jawaban 'tidak apa-apa' yang selalu dilempar. Semua alibi yang dibangun Suci malah menyulap gadis itu seperti sebuah soal rumit yang harus dipecahkan. Rizi makin dibuat penasaran dengan perempuan di depannya ini.

"Aku..." Suci menarik napas. Menjaga agar bulir kristal yang sudah menggenang di matanya tidak jatuh. "Aku alergi bakso," dustanya.

Prasetya Alfarizzi memejam. Giginya bergemelutuk. Laki-laki itu memberi pijatan di pangkal hidung. Mencoba mengurung emosinya. "Tolong, kamu lagi bicara dengan laki-laki 30 tahun, yang bahkan bisa menelanjangi kamu dalam beberapa detik. Bukan dengan bocah yang bisa kamu bodoh-bodohi!" suara Rizi pelan namun tegas di setiap katanya. Matanya kembali terbuka. "Bilang! Kamu kenapa?!" tuntutnya geram.

Desahan panjang lolos dari bibir Suci. Ia menutup wajah dengan telapak tangan. Ini yang tidak disukai ketika ia mencoba membuka diri untuk berteman dengan orang asing. Mereka akan selalu bertanya apa, kenapa dan mengapa? Selalu mau tahu alasan di balik perubahan ekspresinya. Padahal, sejak tujuh tahun lalu, 'ritual' penuh selidik ini sudah dilepas orang-orang terdekat Suci. Mereka hanya diam dan membuat pemakluman atas semua sikap Suci.

ImpromptuOn viuen les histories. Descobreix ara