Bab X - Lamentasi

31.8K 3.9K 230
                                    

[ Lamentasi : Sajak berduka : ratapan jiwa ]

Part ini hanya berisi kilasan masa lalu Suci, ini semacam stimulasi untuk part berikut. Biar ada sedikit jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yg berkecamuk soal Suci. Tapi sekali lagi ... ini hanya kepingan, masih ada kepingan lain yg tersimpan dan akan terungkap di bab-bab berikut.  Abaikan Typo. Nanti saya edit kalau ada waktu.


***

Malam itu--tujuh tahun lalu, sepasang laki-laki dan perempuan duduk bersisihan di lantai teras sebuah rumah sederhana. Mata keduanya memaku objek yang sama; laptop 15 Inc yang menayangkan video crossroads guitar duel nya Joe Satriani dan Steve Vai.

Suci merubah posisi, tengkurap ke lantai. Dagunya disanggah kedua telapak tangan, sementara kakinya berayun-ayun di belakang. Dilan sendiri duduk tenang di samping gadis itu. Sesekali, pria itu mengusili Suci dengan mengacak poni bergelombang gadis itu.

"Jadi dia gak pernah sekolah musik?" Suci menunjuk layar laptopn, "otodidak gitu yah?" saat melihat Dilan mengangguk, Suci membeliak kemudian berdecak penuh kekaguman. "Gila! Aku ajah hampir sebulan baru bisa strumming, mereka emang bakat setan yah?"

Tangan Dilan terulur mencubit pipi Suci pelan. Laki-laki itu tersenyum geli mendapati ruas kenyal pipi itu memerah karena ulahnya. Lucu sekali! Kapan Dilan pantas meninggalkan jejak gigitan di sana? Atau mungkin ... jilatan?

Mati-matian Dilan mengusir rencana frontal di kepalanya. Lelaki itu mengurut pelipis sebagai bentuk pelarian. Sementara Suci, malah berkedip-kedip lambat menunggu kelanjutan penjelasan Dilan. Ya Tuhan, boleh Dilan memenjarakan anak ini menjadi tawanan semalamnya?

"Ya otodidak emang, tapi dia juga punya guru yang ga sembarangan, sayang. Hasilnya kamu bisa lihat tuh sama ... siapa?" Dilan bertanya namun tak membutuhkan jawaban. "Yang katanya kesayangan kamu itu, ummm ... Petucini?" ia pura-pura penasaran. "Udah kayak nama makanan ajah," cibirnya.

Bibir Suci tercebik bersama pupil mata yang memutar ke atas--ekspresi andalan yang ia tunjukan jika sebal. "Yee, Peter Petrucci itu belajarnya sama Steve Vai! Bukan sama Joe Satriyani," sungutnya. Ia melepaskan jari-jari Dilan yang bermain usil di poninya dan menepisnya kasar. "Secara teknis sih, aku lebih suka gaya mainnya dia. Apa yah? Lebih soft ajah di kuping aku."

Tawa mencemooh Dilan mengundang dengusan sebal Suci. Bibir bawah pria itu terangkat memberi kesan meremahkan. "Ya Steve Vai itu belajarnya sama Joe Satriani juga kali, Ci. Jadi, yah, secara struktural ilmu si Joe ini juga beranak pinak sampai menjangkit ke si Petrucci ini!" dengan gemas, Dilan mendorong telunjuknya di kening Suci.

"Bukan soal teknik Ci, tapi karena Dream Theater itu genre-nya progressiv metal. Jadi, masih ada unsur soft. Karna ada Jazz touch-nya. Yang kamu denger dan nonton selama ini emang pure rock intrumental gitu. Jadi, agak bising, apalagi Metalica tuh, Ci ... hard rock abis."

Suci ber'oh' dengan kepala yang terangguk dua kali sebagai tanda penutup debat. Ia kembali menyeret matanya ke layar laptop, tidak peduli pada Dilan yang kini sudah membungku, menghujaninya dengan ciuman-ciuman beruntun di puncak kepala.

"Cium dong," pinta Dilan, berbisik di telinga Suci. Mengendus bau minyak kayu putih dan bedak bayi yang bercampur.

Iya, pacaran dengan Suci, jangan harap bisa mencium parfum-parfum yang menggoda iman. Tidak ada wangi macam-macam di tubuh gadis itu. Lambat laun, Dilan mulai berdamai dengan itu. Ia sudah terbiasa dengan matanya yang perih saat mencium wangi menyengat minyak kayu putih di leher dan telinga Suci ketika ia mulai nakal menjamah tempat itu. Mulai hafal dengan bau tubuh Suci yang tidak ada bedanya dengan anak bayi.

ImpromptuWhere stories live. Discover now