Bab XXIV - 22 Desember Untuk Marvel

30K 4.4K 960
                                    

Bacanya sambil putar instrumen di atas yaaaaa.



****

Suci rasa, bukan fenomena baru, bartemu dengan seseorang yang mirip dengannya. Ada milyaran manusia di dunia ini, bukan? Wajar bila beberapa kali, dia berpapasan dengan satu-dua orang yang memiliki kesamaan rupa.

Hanya saja, melihat bagian tubuh, terpajang di tubuh orang lain, sedikit menggelitik dan lucu. Bak menatap pantulan mata pada kaca. Kalau Atmaja ada di sini, mereka pasti tertawa bersama karena punya mata yang sungguh mirip.

Marvel. Anak itu berambut ikal. Punya kulit putih kemerahan. Bermata besar. Tatap lurusnya sama dengan menghisap perhatian Suci. Rasanya familier. Apa kemiripan pernak-pernik wajah yang menciptakan rasa ini?

“Kamu Marvel, ya?” Suci abaikan wajah kebingungan anak itu. Ulurkan tangan, ramah. “Aku Suci, yang buatin kue ulang tahun pesanan papamu.”

Tak langsung bersambut. Suci memulas senyum. Maklumi sambutan dingin itu. Wajar saja, orangtua zaman sekarang memang mengajarkan anak-anaknya untuk tak banyak berinteraksi dengan orang asing.

“Boleh aku duduk?”

Kali ini, ada anggukan. Seiring Suci tempati kursi, Marvel terus memerhatikan sampai kepalanya miring. Seperti orang dewasa tengah menilai satu lukisan secara seksama. Ditatap dengan cara tak wajar, Suci sampai mengecek penampilannya sendiri.

“Kenapa?”

Marvel satukan jemarinya. Mencagak dagu. “Temennya Bunda, kan?”

“Huh?” Suci berusaha untuk tidak tersenyum dengar suara Marvel yang serak dan berbass. Ini makin lucu. Kenapa bisa bertemu dengan orang yang punya tiga kesamaan dengannya? Rambut, mata, dan suara. Tapi sebentar, “Kamu bilang apa tadi?”

“Vel sering lihat Tante.”

“Oh, ya? Di mana?”

“Foto.”

“Foto?” ulang Suci, datar. Sebenarnya dia tidak begitu serius menanggapi Marvel. Suci hanya berkewajiban menjadi teman bicara yang baik sebelum orangtua anak itu datang dan menyelesaikan urusan mereka hari ini. “Foto yang mana, Vel?”

“Banyak.”

“Banyak itu maksudnya gimana?” Saat bilang begitu, mata Suci berkeliling mencari sosok Pak Hendra. Gagal. Ruangan ini sepi dari pengunjung. Hanya beberapa karyawan dengan seragam hijau yang berlalu-lalang.

“Ya banyak. Di ruang keluarga. Di dinding kamar Bunda. Di bufet kamar uncle Dil. di—” Dia mengingat-ingat. “Ah, di ponsel uncle Dil juga ada!”

Perhatian Suci kembali terpusat pada Marvel. “Begitu ya?”

Anak kecil memang sering punya imajinasi yang liar. Suci tak ingin menyiram bensin ke dalam imajinasi itu dan berujung mendengar celoteh-celoteh panjang Marvel. Segera, dia buka penutup kue. “Kamu mau lihat kue ulang tahunmu, Vel?”

Obrolan soal foto terbang begitu saja. Marvel tampak antusias mengangguk.

“Ini... Buat kamu, selamat ulang tahun, ya? Tapi nggak boleh dicolek-colek sampai papamu balik.”

Senyum di wajah Marvel sirna. Suci bertanya, “Kenapa? Ini kesukaan Vel. Captain America!”

“Kok jelek?” protes anak itu. “Ini lebih mirip Frankenstein daripada Captain America,” celutuknya polos.

“Astaga.” Suci gigit bibir atas, sebagai pengalihan dari rasa ingin tertawa. Sebenarnya, dia tak enak hati karena kurang profesional biarkan masalah pribadi merusak konsentrasi bekerja. Sampai-sampai, semua yang dikerjakan tidak optimal. Ini adalah tampilan terbaik Captain America setelah delapan kali percobaan. Suci yakin sudah menyentuh standart konsumen kok.

ImpromptuWhere stories live. Discover now