Bab II - Suci Medina

48K 5K 330
                                    

Binar mata Suci terpancar dari wajah lelahnya. Senyum mengembang dan bibirnya terus berucap kata-kata syukur di sepanjang langkahnya menyapu koridor kampus yang senin siang itu menyuguhkan wajah-wajah frustrasi nan lelah dari penghuninya.

Gadis bermata bulat besar dan berponi itu tidak perduli. Pada tatapan mengejek orang-orang yang berpapasan dan melihat dirinya tersenyum sendiri. Tidak ada yang bisa merusak mood-nya hari ini termasuk juga cibiran orang-orang itu.

Perasaan Suci tumpang tindih antara senang, bahagia, lega, terharu, sekaligus bangga secara bersamaan. Penyebabnya? Skripsinya baru saja di-ACC pembimbing. Dinyatakan layak untuk mengikuti ujian.

Sebenarnya, euforia seperti ini wajar saja dirasakan oleh semua Mahasiswa yang sampai pada fase ini. Namun, khusus bagi Suci, rasa bahagianya meningkat berkali-kali lipat melewati siapa pun yang pernah berada di posisi ini. Karena moment yang seharusnya sudah terjadi sekitar dua tahun lalu itu baru sempat dirasakannya sekarang.

Untuk ukuran Mahasiswa akhir, umur Suci sebenarnya sudah terlampau tua. Bulan depan usianya memasuki 24 tahun. Usia yang seharusnya sudah berada di dalam ruangan full AC, dibalut semi jas formal, ditopang stiletto 7 senti, juga dihiasi pemandangan kaca mata melorot di pangkal hidung dan bergelut di balik meja kubikel serta lembaraan-lembaran kerjaan yang menyiksa.

Kenyataannya, Suci Medina di penghujung usia 23 tahun ini hanyalah seorang Mahasiswi yang saat ini masih terseok-seok mengejar title sarjana. Hari ini, statusnya Mahasiswa ketuaan, naik pangkat menjadi calon sarjana masih ketuaan. Tetapi, Suci menganggap keberuntungan hari ini adalah hadiah manis untuk perjuangannya bangkit dari keterpurukan beberapa tahun belakangan.

Rumbai rok kuning gading yang Suci kenakan ikut menari bersama langkah kakinya. Suci menarik tatapan dari pemandangan di depan, ia mendongak, matanya beradu dengan langit yang siang ini sepertinya tidak sudi untuk beramah - tamah pada penduduk bumi, karena ia menyembunyikan perhiasan terbaiknya--matahari--di balik awan hitam yang terderet angkuh membungkus bentangannya. Berbeda sekali dengan suasana hati Suci yang bersinar cerah.

Tidak perduli pada alam semesta yang menolak untuk ikut berbahagia dengannya. Tidak peduli pada umur yang expired untuk sekadar loncat-loncat kesetanan karena senang. Suci hanya ingin meluapkan bahagianya yang pertama kali dirasakannya selama tujuh tahun belakangan ini.

Hape jadul di dalam genggaman Suci meronta-ronta, kombinasi antara ringtone dan getar yang menandakan ada panggilan masuk. Tanpa melihat nama si penelpon, Suci menempelkan ponsel di kupingnya yang terlapis dengan rambut hitam bergelombang bin kusam bin kusutnya.

"Halo? Ini siapa?" sapa Suci, riang. Kaki mungilnya yang dilapisi convers abu-abu tua terhenti di bawah pohon besar depan gedung FKIP. Ia membanting stopmap folio berisi revisi skripsinya ke atas rumput hijau lalu duduk bersandar di batang pohon berlumut.

"Eh buset dah, Suciii Medinaa. Kamu nggak save nomor Mas?"

Alis Suci terangkat ketika suara bass itu menggelitik rongga telinganya. Ia menurunkan ponsel, membaca nama yang tertera di ponsel. "Oh, maaf Mas Rama. Ci ga liat tadi," serunya setengah terkekeh.

"Makanya pakai smartphone, jangan Idiotphone. Kalo Smartphone kan bisa kamu liat dulu namanya sebelum kamu geser - geser manja tombolnya untuk angkat telepon. Idiotphone mah kamu angkat ajah seenak congormu," cerocos si penelfon dalam sekali napas. Suci yang sedari tadi ikut-ikutan menahan napas pun menghembuskannya perlahan.

"Justru itu enaknya Mas, simpel."

"Sakarepmu lah!"

Tawa Suci mengudara. Suara serak-serak basahnya terumbar seksi--suara eksotik, begitu kontras dengan penampakannya yang cenderung lugu.

ImpromptuWhere stories live. Discover now