Bab IX - Sebuah Peran

35.7K 4.1K 365
                                    

Bima memang menyambut Rizi dengan ramah ketika pria itu menginjakan kaki di rumah besar bergaya eropa kuno itu. Senyumnya masih terbit hangat seperti beberapa hari lalu Rizi lihat. Namun, detektor rasa Rizi menangkap sinyal aneh dari segala macam ekspresi dan gestur palsu itu.

Jika sudah menyangkut anak bungsunya, Rizi tahu Bima tidak pernah main-main. Selama beberapa tahun berada dalam lintasan orbit yang sama dengan anak ayah itu, ikut memerhatikan kedekatan keduanya, Rizi tahu hubungan mereka sangat intens. Ridara adalah nyawa pria itu mungkin.

Analogi kejinya, Ridara ibarat sebuah bisul baru tumbuh di ketek pria itu yang ia jaga dengan hati-hati karena takut tersentuh. Bima bahkan tidak pernah bisa melepaskan jauh-jauh apalagi sampai berbeda kota dengannya. Itu sebabnya Ridara tidak pernah diijinkan sekolah ke luar negeri karena pria itu tidak berada jauh dari anak bungsunya.

"Duduk," perintah pria tua yang malam itu tampil santai dengan drawstring pants berwarna brown dan kaos putih polos yang bahkan sudah berlubang di beberapa sisi--satu dari sekian kesederhanaan yang Rizi kagumi dari boss-nya ini.

Mengikuti instruksi, Rizi menempatkan diri tepat di samping Ridara tanpa mau repot menengok atau menyapa wanita itu.

Bima membuka sebuah cohiba behike humidor berwarna keemasan lalu mengambil cerutu panatela dan menghirup sejenak bau tembakau yang menguar dari batangan cerutu. Bunyi gesekan pemantik api tradisional menciptakan api kecil dan membakar ujung cerutu. Pria itu malah sempat-sempatnya berkelakar soal pemantik api itu yang menguak kenangan masa silamnya saat masih hidup di kampung dulu di mana, ia dan teman-temannya terbiasa membuat api hanya dengan cara menggesekan batang bambu kering.

Rizi tak menanggapi apalagi Ridara, kedua orang itu menunggu drama apa yang terjadi selanjutnya. Terlebih-lebih dengan Rizi yang mulai sibuk berpsekulasi.

"Jadi...," Bima mulai meletakan batangan itu di kedua bibirnya dan menghisap dalam cerutu tersebut. Matanya terpejam merasakan aroma tembakau yang mengendap di trakea. Asap tipis terlepas dari sela kedua bibirnya. "Berapa lama kalian pacaran?" tanya pria itu, ia sama sekali tidak melihat objek di depannya dan malah sibuk mengelus-elus cerutunya. "Seminggu? Dua minggu?" lanjutnya santai.

"Sebulan, Pa," jawab Ridara.

Kepala Rizi terputar beberapa derajat ke kanan, matanya bersirobok dengan mata Ridara. "Seminggu, sembilan jam," jelasnya merevisi.

Bibir dalam Ridara tergigit gusar. Ia menangkap maķsud dari tatapan Rizi; sorot mata yang mengindikasikan aura murka durjana. Sesungguhnya ini pertama kalinya Ridara menerima jenis tatapan ini dari seorang Rizi yang bahkan beberapa hari lalu masih memandangnya dengan hangat. Ia selalu suka semua jenis tatapan Rizi padanya. Sepasang mata berirish hitam legam yang bisa membuatnya merasa dipuja, diinginkan, digilai. Namun, kali ini... diabaikan. Ridara bertanya, kemana tatapan itu? Tatapan sarat pujaan yang sangat ia candui dari seorang Prasetya Alfarizzi.

Anggukan tidak peduli Bima merangsang nervus sympathicus dan menambah liar detak jantung Rizi. ia bukan takut. Hanya saja tidak mau dianggap bajingan. Tidak ada orang tua waras yang senang anaknya dikencani dalam waktu singkat dan diabaikan begitu saja. Meskipun dalam kasus ini, Rizi menolak untuk disalahkan dan juga tidak merasa bersalah. Sekali lagi, Ridara yang memutuskan dan dia hanya bagian mengabulkan bukan?

"So, selama seminggu ini, apa yang kamu dapat dari anak saya?"

Rizi menekan semua rasa tidak enak ketika ditanyai dengan cara kurang menyenangkan. Saat ini, ia tidak sedang mengalami situasi rumit yang biasa memeranginya di ruangan rapat saat harus menghadapi seorang Bima sebagai atasan ketika ada masalah dengan laporan petty cash, weekly, monthly perusahaan. Juga ketika ia dibentaki tentang kesalahan pertanggung jawaban soal cash flow report perusahaan yang amburadul. Ini konteksanya lebih emosional.

ImpromptuWhere stories live. Discover now