Bab XIX - Marvel Butuh Kamu

28.9K 4.2K 705
                                    


Brak!

Rizi membanting robot Optimus Prime pemberian Ridara. Tadinya, robot itu anteng di meja kerja, bersebelahan dengan robot seri Tranformer lain yang ia jaga seperti anak sendiri. Namun, setiap hari selama dua minggu belakangan ini, benda-benda kesayangannya itu dijadikan pelampiasan amarah.

Mendengar bunyi itu, tanpa permisi Rama melongos masuk ke ruangan Rizi. Wajahnya sedikit memerah karena menekan kesal. “Eh, Zi. Kalau ada masalah, jangan bawa-bawa ke kantor! Lo bikin semua orang sedevisi keuangan nggak nyaman sama tingkah lo!”

Baru hari ini Rama berani menegur. Ia tak tahan pada pola berulang Prasetya Alfarizi. Setiap hari, lelaki itu datang ke kantor dengan wajah tertekuk. Memang Rizi masih mampu mengontrol diri: bicara dengan sopan pada semua yang kebetulan interaksi dengannya, tapi, setiap kali masuk ruangan, laki-laki itu akan menciptakan kegaduhan. Entah karena suara geraman frustrasi ataupun bunyi-bunyian bantingan barang yang membuat beberapa karyawan resah.
ermasuk juga Ridara. Tak ada yang berani menegur karena tahu persis bahwa Rizi sedang dalam mood buruk.

Rizi mendesah pendek. Wajahnya diusap kasar. “Tolong, keluar! Lo adalah orang yang paling nggak ingin gue temui sekarang,” usirnya, dingin.

“Lo marah?” Rama tak menghiraukan imbauan. Lelaki itu menarik kursi, duduk di depan Rizi. Mereka bertukar tatapan sinis. “Tau nggak? Lo lebih lembek dari perempuan! Cara lo ini terlalu kekanak-kanakan untuk umur lo!”

“Keluar!!” Kali ini suara Rizi meninggi. Sumpah mati ingin sekali ia meninju Rama. Bisa-bisanya Rama mengkritik kelakuannya, padahal lelaki itu tahu persis kenapa Rizi seperti ini. Pun, Rizi yakin, Rama adalah salah satu sutradara penting di balik drama menghilangnya Suci Medina dua minggu ini.

Ya, Suci tidak bisa ditemui! Menghilang total selama dua minggu! Saat Rizi menjumpainya di rumah, Atmaja hanya bilang bahwa untuk sementara, Suci tinggal di rumah kost. Tak ada yang tahu alamat kost gadis itu. Mati-matian Rizi mengorek informasi dari Tiwi dan Rama, tapi dua orang itu mengaku tak tahu menahu keberadaan Suci.

Rizi hampir gila! Dia merasa semua orang berkonspirasi menjauhkannya dari Suci Medina. Fakta itu membuatnya tersinggung berat. Terlebih-lebih pada Rama dan Tiwi yang seharusnya menjadi sosok pendukung, bukan malah terang-terangan meletakkan sekat pemisah.

“Heh, gue benar-benar nggak tahu Suci di mana!” Rama balas membentak. “Dia telepon Tiwi, bilang kalau dia baik-baik saja. Untuk sementara dia perlu menyendiri. Hanya sebatas itu!”

“Oke...” Ada tawa hancur yang terlepas dari apitan bibir Rizi. “Kalian semua nggak mendukung gue.” Kepalanya terangguk, membahasakan kecewa.

Bukan drama, Rizi merasa diposisikan sebagai musuh. Tak masalah jika ia berjuang sendiri. Tanpa ada simpatisan yang mendukung. Asalkan, jangan ada yang menginterupsi! Faktanya, orang-orang terdekatlah yang terang-terangan memenggal perasaannya ke Suci.

Bangkit, Rizi Memakai tas salempang. Ia berututur pelan, “Kali ini, lo semua menempatkan gue sebagai musuh. Fine... gue terima. Silakan tempuh jarak apa pun untuk membunuh usaha gue. Tapi ingat, nggak akan ada yang namanya garis berhenti dalam usaha gue miliki Suci. Lo ingat baik-baik!”

Usai kepergian Rizi, Rama hampir membenturkan kepala ke meja. “Haduh, ngapain juga lo harus jatuh cinta ke adik sepupu bini gue, Ziiiiii,” keluh lelaki itu, stres. “Dia nggak tepat buat lo!”

Rama benar-benar tidak bisa membantu sama sekali. Dia sendiri bingung dan ketakutan. Di satu sisi, dia tahu Rizi tak pernah main-main soal perasaan. Di sisi lain, status Suci belum terlalu jelas. Masa lalu gadis itu siap mengintai kapan saja. Suci terlalu rawan untuk dimiliki. Sementara Prasetya Alfarizi terlalu menggebu-gebu.

ImpromptuTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon