Bab XV - Lamentasi II - A

32.2K 3.8K 577
                                    

Warning!
Part ini saya gambarkan vulgar. Mengingat ini pertama kali saya berani menulis eksplisit, saya minta maaf lbh dulu. Harap dimaklumi. Saya bkn orng yg sembarangan menuang erotisme ke dlm cerita kalau memang tidak perlu. Interaksi seksual di sini mmg harus hadir untuk menguatkan plot, krn ini adlh akar konflik. Bkn dipaksa-paksakan hadir untuk bikin basah atau menarik pembaca saja.
Saya gamblang di part ini, mohon dimaklumi. Bagi yang kurang nyaman, silakan skip.

Oh yah, karena panjang, saya penggal part lamentasi II menjadi A dan B. Mlm ini A dulu, besok B. Thx :)

***

Begitu turun dari mobil, Shabila memayungi kepala dengan telapak, menghalau bulir hujan yang memukul dari arah langit. Dia berlari ke pekarangan rumah luas yang ditumbuhi rerumputan hijau. Convers abu-abu menghantam bumi mencipratan air bercampur tanah ke kaos kaki putihnya. Namun, gadis itu tak peduli. Lekas, kakinya dikayuh cepat menuju teras.

Bug bug bug.

Sembari meneriaki salam, telapak Bila bertumbukan keras dengan daun pintu. "Ciii buka, Ci!" teriaknya tidak sabaran.

Bila tahu, hanya tertinggal Suci di dalam rumah itu karena Atmaja sedang mengantarkan orang tuanya ke Bandung untuk peringatan tiga tahun meninggalnya sang kakek. Sementara Ayu dan Enda menjenguk ibunya yang sakit di Lembang.

Hampir tujuh menit menunggu, pintu akhirnya terbuka. Suci muncul dalam balutan mukena.

Bila berkacak pinggang, membidas Suci dengan tatap runcing, "Kenapa nggak sekolah dua hari ini? Huh? Menghindar dari Bang Dilan 'kan?" tuduhnya. Setelah membuka sepatu, tanpa menunggu sang empunya rumah mempersilakan, gadis berkulit putih susu itu melongos masuk langsung ke kamar Suci.

Suci tak mau menjawab. Lebih tepatnya tidak mau berdebat dengan Shabila. Terlebih-lebih jika topik debat menyangkut dengan sosok yang mati-matian dia hindari dua hari ini; Dilan.

Memilih diam, Suci membuka mukena, dan melipat sajadah. Dia memungut kaos kaki basah shabila yang dilempar gadis itu ke lantai kamar. Tak dihiraukannya Bila yang duduk di tepi kasur, membidasnya dengan tatap murka.

"Lusa, Bang Dilan berangkat. Kamu harus ketemu dia. Jangan siksa dia. Kamu tahu? Dia berantem besar dengan Papa. Minta Papa jelasin duduk masalahnya ke kamu. Padahal, kamu tahu maksud Papaku ngomong gitu bukan untuk hina kamu. Papaku sayang sama kamu, Ci. Anggap kamu anak sendiri. Jadi, kamu jangan salah tangkap maksud dia," jelas Shabila panjang lebar.

Gelengan Suci mewakilkan pendapatnya. "Bil, aku--"

"Dan asal kamu tahu...," Shabila tidak memberikan kesempatan untuk Suci menjawab. "Bang Dilan nggak mau pulang ke Malaysia kalau hubungan kalian masih belum baik. Dia ngancam nggak ikut ujian. Kerjaannya mabuk-mabukkan!"

Kekanakan. Satu hal yang ingin Suci teriaki menyangkut dengan sikap Dilan. "Sampaikan ke Kakak kamu, dia udah 24 tahun. Bukan lagi bocah yang suka berkelakuan aneh untuk menarik perhatian!"

Shabila geram. Dia mengejar Suci. Gadis itu pura-pura sibuk membawa pakaian kotor ke dapur.

"Enak banget yah kamu? Hah? Udah mutusin gitu ajah, bikin Abangku patah hati, sekarang kamu lepas tangan? Siapa yang lebih kekanakan, Bang Dilan atau kamu?" Shabila berteriak di belakang Suci.

ImpromptuWhere stories live. Discover now