Bab VIII - Verbalis Picisan

39.2K 4.2K 294
                                    

Wattpad gangguan yah? Komennya kok sepi😕

***

Cairan pekat kehitaman tertuang dalam cangkir porselin berwarna hitam-putih dengan motif newspaper. Perpaduan yang begitu 'kawin' terlihat dengan sedikit kepulan asap yang menari tertiup angin di atasnya. Rizi duduk di lantai, menyilang tungkai kaki seraya menyecap kopi hitam. Taste bud lidahnya bertengkar dengan rasa pahit dari kopi tanpa gula miliknya.

Sejak dulu, kemoreseptor lidah Rizi sudah mengidentifikasi seleranya yang menjerumuskan ia sebagai pecandu berat duo hitam dan pahit dari si kopi non glukosa ini.

Rizi menghirup aroma kopinya sebentar lalu menghisap sebatang Marlboro. Sepasang bola mata hitam miliknya membidik ikan-ikan hias di kolam kecil di depannya. Tidak lama kemudian, ia bangkit melangkah ke taman kecil yang dipenuhi tanaman hias ibunya. Perhatian Rizi seketika teralih ke spantram yang berdiri di hadapan. Kanvas, gumpalan kertas, berserakan di atas rumput jepang taman. Dipungutinya kertas-kertas itu lalu dirapikan sekadarnya.

Lukisan wajah seorang wanita.

Lukisan sama yang tidak sengaja Rizi lihat selama beberapa bulan ini menjadi objek pahatan ayahnya di atas kanvas. Terlihat dengan jelas lukisan ini masih berupa blocking sketch dan terbilang 'gagal jadi'. Ada bagian yang tidak diselesaikan, seperti pada bagian mata yang tidak divisualisir secara mendetil juga rambut yang hanya terlukis setengah jadi.

Rizi tau betul ayahnya tidak pernah pintar membuat sketsa wajah. Ciri dari lukisan ayahnya cenderung gabungan ke aliran realisme, sedikit sentuhan neoklasisme juga naturalisme, wajar saja jika sketsa ini secara visionil, tidak begitu menarik di mata Rizi.

Seketika rasa penasaran Rizi menjentik otaknya untuk berpikir. Ia meraba-raba dengan mata, mencoba mengenali siapa sosok berambut curly dengan ornamen wajah serba mungil yang menjadi luapan kreatif-imajinatif ayahnya ini? Dugaan Rizi mengerucut ke sebuah kesimpulan bahwa sosok ini ada hubungannya dengan tawa ayahnya yang sering ia dengar saat pria 55 tahun itu mengobrol dengan seseorang di telepon.

Kembali, Rizi menggumpal kertas tersebut kemudian melemparkannya secara acak ke arah tembok. Sebuah siluet terpantul di rumput taman bersama suara derap langkah kaki. Kepala Rizi terputar ke sumber suara dan mendapati ibunya. Wanita itu tersenyum. Membawa sebuah wadah plastik berisi potongan buah dan sebuah garpu.

"Belum tidur, Zi?" sapa Maya. "Udah hampir jam satu loh." ada jeda beberapa detik sebelum dahi wanita itu berkerut, ia menajamkan pandangan ketika menangkap kepulan asap bersama sebuah benda putih di antara jepitan jari Rizi.

Rokok?

Wanita itu berdecak, tidak biasanya anaknya ini merokok. Ia mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali melihat Rizi merokok? Lima tahun? Sembilan tahun yang lalu? Saat Rizi stres dengan skripsinya?

"Kamu ngerokok?" wanita itu mendekat dan merebut paksa rokok dari jepitan jari Rizi. Dia membuangnya ke rumput.  Detik berikut rokok tersebut hancur tergilas sendal jepitnya.

Rizi cuek saja. Tidak menanggapi, tidak juga memprotes tindakan ibunya. Bisa apa dia selain diam dan menurut? Ia tidak nekat berspekulasi dengan ibunya yang mengidap syndrom 'kretan' atau kereta setan. Itu loh, ibu-ibu yang mampu mengamuk dalam waktu 1000 Km per sekon, persis kereta setan.

"Begadang, kopi, ngerokok. kapan sehatnya? Daripada kamu ngerokok, mending makan buah. Aaaaa--" Maya mengulurkan tangannya menyuapi sepotong buah apel yang tertancap di ujung garpu dan diabaikan anaknya begitu saja. Wanita itu menggerutu kesal ketika Rizi tidak merespon dan malah berjalan meninggalkannya begitu saja duduk lantai.

ImpromptuΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα