Bab VII - Konspirasi Paralel

32.8K 4.1K 243
                                    

Perempuan jika terlahir cantik, berarti setengah masalah hidupnya sudah kelar. Sebab, 50% masalah yang datang dalam hidup perempuan biasanya berhubungan dengan fisik mereka.

Satu dari sedikit perempuan beruntung adalah Ridara. Ia tidak perlu repot-repot merasa kesulitan memilih baju, menimbang-nimbang model baju apa yang bisa menutupi kekurangan tubuhnya, ataupun juga menyembunyikan warna kulit yang tidak rata. Ia terbilang nyaris sempurna tanpa cacat.

Proposi tubuh ideal versus wajah cantik membius adalah dua komposisi dalam racikan Tuhan yang diramu dan dikemas membentuk seorang Ridara Bima Putri. Tidak cukup dengan itu, Ridara juga terlahir sebagai anak dari pemilik PT Bima Travel and Tour yang membuat dirinya dipermudah dalam konteks kekuasaan. Kedudukannya sangat berpengaruh di kantor, Dengan posisinya, Ridara bisa "mengkancing' juga 'menginjak' siapa pun yang melawan--termasuk juga Rizi yang notabennya hanya seorang manejer keuangan.

Senin siang, Ridara baru sampai di kantor pukul 12.10 WIB. Seperti biasa, wanita itu berlenggang gemulai menyisir lorong menuju ruangannya. Beberapa karyawan curi-curi pandang ke arahnya namun wanita itu tidak pernah sudi berbagi keramahan.

Semua populasi kantor tahu bahwa Ridara adalah jenis perempuan flegmatikus juga sarkas. Wanita itu hanya menunjukan sisi manja pada beberapa orang yang terpilih, juga lebih sering menampakan sisi kejam daripada sisi ramahnya. Beberapa karyawan bahkan memberikan julukan "Singa Beranak" karena Ridara dianggap arogan, kejam dan hanya bisa tersenyum dua kali dalam setahun.

"Alshivaaaa!' teriak Ridara.

Merasa dipanggil, Alsiva--sekretaris Ridara--beranjak dari meja kubikelnya. Sedikit tergopoh-gopoh, gadis itu masuk ke ruangan boss-nya.

"Panggilkan Prasetya Alfarizzi dari divisi keuangan, dan suruh ke ruangan saya, sekarang!" perintah Ridara dalam nada membentak. Ia perlu bertemu dengan Rizi; mengurusi beberapa hal dengan lelaki yang membuat dirinya patah hati dan menangis semalaman itu.

Alsiva bergeming di posisnya, ia tau betul tabiat boss-nya, marah senang ekspresinya tetap satu: kejam.

"Kamu dengar perintah saya, Siva?"

Alsiva mengangguk keras. "Ng... itu, Bu. Pak Rizi cuti."

Alis Ridara melengkung tajam, sorot mata beratnya tertuju pada Alsiva. "Cuti?" ulang Ridara tidak yakin. " Sejak kapan?"

"Tadi pagi, Bu."

"Loh, kok bisa? Surat cutinya kapan dimasukin ke bagian HRD? Saya merasa nggak pernah tanda tangani. Seingat saya, dari divisi keuangan, hanya Rama yang surat cutinya sudah ditandatangani karena dia ijin nikah."

Siva menjawab pelan, "Pak Bima yang tanda tangan, Bu." membaca air muka Ridara, Siva tau dirinya akan menjadi sasaran amukan si singa beranak ini.

"Papa? Ngapain Papa ikut campur?" tumpukan map di tangan Ridara dibanting ke meja. "Papa saya memang pendiri sekaligus pemilik PT ini. Tapi, saya yang memimpin di sini," suara Ridara meninggi. "Apapun yang terjadi tanpa seijin saya dan tidak mematuhi prosedur yang berlaku di perusaahan ini, itu ilegal!"

Perempuan itu berdiri, mengibaskan rambut panjangnya dan menyambar Kelly bag yang baru beberapa menit ia letakan. " Hubungi dia, dan bilang kalau surat cutinya saya tolak karena tidak mengikuti prosedur yang berlaku di kantor ini."

Ridara beranjak pergi. Masalahnya dengan Rizi berefek pada mood yang menurun drastis. Pulang ke apartemen lebih baik daripada tetap berada di kantor. Bekerja dengan suasana hati yang buruk bisa merembes ke hal-hal lain termasuk juga merusak kinerja karyawan-karyawan dengan amukannya.

"Mentang-mentang dekat dengan Papa saya. Dia pikir bisa menabrak aturan di sini?" Ridara berbalik. "Bilang ke dia, saya mengharamkan nepotisme terjadi di kantor ini. Besok, dia harus kembali bekerja! Persetan dengan UU tenaga kerja yang melindungi hak dia sebagai karyawan. Aturan perusahaan ini tidak memperbolehkan dua orang dari divisi yang sama mengajukan cuti bersamaan. Ngerti kamu?"

ImpromptuWhere stories live. Discover now