Bab XXIX - Rotasi 180 Derajat Sudut Pandang

19.9K 1.8K 443
                                    

Suci terjaga kala matahari merona. Tenda inap kosong dan rapi tandakan bahwa matras, selimut, bantal sandingan tidurnya tak digunakan. Dilan memang hadir semalam—berupa pantulan siluet di dinding tenda. Tak berani masuk entah apa ihwalnya.

Usai bersihkan diri, dia mengecek sang sepupu. Urung niat untuk mampir karena pintu tenda inap Rama-Tiwi masih terkunci. Pun, milik Randara dan Shabila. Trip pendek keliling hutan sepertinya ide menarik. Suci telusuri setapak berpaving. Telanjang kaki, sengaja mengawinkan diri dengan alam.

Seseorang melepas jedainya, rambut ikal Suci tergerai. Si pelaku tersenyum simpul sembari melarikan tangan ke belakang pinggang. ”Kenapa di sini? Sendirian, nyeker, aku hampir kasih kamu sedekah.”

“Balikin!”

Prasetyta Alfarizzi tertawa kecil. Mengabuli. Namun, yang sampai ke tangan Suci bukanlah jedai, melainkan pot tembikar mini berisi bibit anggrek.

“Paphiopedhillum. Nama kuil Aphrodite, Dewi cinta. Aku pilih yang ungu mewakili kagum dan penghormatan.”

“Nggak suka. Nggak ada waktu ngerawat.”

“Simpan dulu.” 

Gelengan tegas. “Mas Izzi belum tau? Cinta itu bencana. Aphrodite adalah Dewi Bencana. Aku lebih suka Nuwa dari Tiongkok. Yang bisa memperbaiki kerusakan.”

“Kamu belum kenalan dengan cinta yang menyenangkan, sih.” 

“Oh, ya?” Suci menaruh minat penuh pada laki-laki itu. “Mas Izzi sudah? Tolong kasih tau aku, semenyenangkan apa sampai-sampai masih sibuk mencari lagi? Di sini. Hari ini. Sejauh ini?”

Ada apa, sih, dengan orang ini? Pikir Rizi. Kenapa lidahnya selalu sinis? Tuhan pasti menciptakan Suci berbarengan dengan Cabai Moruga Scorpion. Walau begitu, Rizi membalas sarkasme Suci dengan tawanya.

“Balikin jedai aku.”

“Ini?” Benda berbentuk kupu-kupu itu dijepitkan Rizi ke rambut di bagian kepala yang paling  jauh dari jangkauan. “Ambil sendiri.”

Rizi memanfaatkan tinggi badan. Itu berarti, mereka harus lakukan adegan FTV pagi-pagi. Suci tak sudi. Biar lebih mudah, dia tendang tulang kering Rizi. Pria itu meringis. Tahu betul jika ini sebuah trik. Tentu saja Rizi tidak akan mengusap kakinya dan biarkan jedai itu diambil dengan mudah. Tidak! Tidak semudah itu. Yang Suci hadapi bukan kelici. Melainkan kancil.

“Cuman segitu?” Kancil mencibir padahal kakinya linu setengah mati. “Yang kanan nggak sekalian?”

Dengan senang hati Suci kabuli. Pemilik tulang menjerit dalam hati. Sumpah mati, para pria di film yang tetap cool meski ditendang, itu kebohongan paling jahat kedua setelah adegan menangkap perempuan yang jatuh dari lantai dua. Rizi menyerah.

“Maaf,” pintanya. Membungkuk demi mudahkan Suci. Tanpa drama, perempuan itu mengambilnya.

Pertama kali jemari Suci menyentuh rambut, Rizi tahan napas. Dia ingin jemari itu lebih lama di sana. Menyugarnya kalau boleh. Cuih. Kenapa respons tubuh ini seperti single kongental beigini?

“Kamu itu ada di depan, tapi aku juga masih mikirin kamu sekarang-sekarang ini.” Matanya terbuka. Bersirobok dengan milik Suci. “Sihir kamu bagus.”

“Kalau aku bisa sihir, Mas Izzi dan rayuan norak itu nggak akan ada di sini. Karena  aku pakai ilmu itu untuk habisi semua laki-laki di dunia. Kalaupun sihirku gak bisa membunuh, seenggaknya, hilangin power kalian yang berpotensi ngerusak dan kacaukan hidup perempuan.”

Tertegun Rizi. Atas nama kaum Adam, dia ingin Dilan dikebiri.

Lelaki itu punya segalanya. Dunia ada dalam genggamnya. Tapi kenapa? Masih mengambilpaksa sesuatu dengan cara keji?

ImpromptuWhere stories live. Discover now