Bab XX - Apkir

28.4K 4.3K 740
                                    

ap·kir v cak ditolak; ditampik; tidak dapat dipakai;

***

Dunia berdenyut-denyut hingga mengecil di sekeliling Suci. Awalnya, dia seperti berada dalam gelembung ketenangan. Terpencil. Tak terjangkau oleh daftar orang-orang yang ingin dijauhi secara permanen. Keberadaan Dilan di hadapan seketika mengkepingkan rasa aman. Kembali takut mengepung Suci. Jeratan jemari Dilan membelit langkah. Dia menegang penuh antisipasi.

“Ciiii... anak kita butuh kamu!”

Suci menghalau informasi apa pun dari Dilan. Penolakannya ia wujudkan lewat bekap kuat di dua kuping. Dia menyesalkan reaksi yang sedikit lamban. Seharusnya, Suci melakukan ini di detik pertama membuka pintu. Sebab dengan lancangnya Dilan membeberkan beberapa hal yang tidak ingin Suci dengar sama sekali. Lelaki itu menyebut kata anak.

Demi Tuhan Suci benci! Ia marah hingga gigi-giginya bergemeretak.

“Pergi!”

Wajah bersimbah air mata milik Dilan terangkat, memelas. Ia tak pedulikan sisi virilis yang terluka karena menontonkan kerapuhan di depan Suci. Demi Tuhan air mata ini bukan senjata untuk memerangi kekerasan hati. Tetapi manivestasi atas kesedihannya. “Ciiii, Marvel anak kita—anak yang kamu kandung sendiri!”

“PERGIII!!”

“Dan sekarang anakmu butuh kamu.”

“PERGI! AKU BILANG PERGI!” Kalimat itu bergetar, lantang.

Sampai di sini ketenangan Suci meledak bersama tangisan histeris. Mata terpejam, kuping tertutup menandakan bahwa gadis itu menolak segala kebenaran.

Bertahun-tahun Suci hidup dalam kumparan orang-orang yang membantunya untuk lupa pada fakta masa lalu. Bahwa dia pernah menikah, bahwa dia pernah mengandung dan memiliki anak! Kini, manusia pencipta neraka di hidup Suci datang seenaknya lalu mencungkil tambang kenyataan yang sekian lama Suci pusarakan.

“Ciiiiii.”

“AKU NGGAK PUNYA ANAK! AKU NGGAK PERNAH HAMIL! AKU... AKU BUKAN SEORANG IBU! PERGI! JANGAN GANGGU AKU!”

Dilan tidak pernah sekacau ini. Dia datang dengan misi mendesak, tapi tidak siap mendengar penolakan. Ia hancur sewaktu Suci menggumamkan penyangkalan atas kehadiran Marvel. Bagi Dilan, tak apa jika ia diludahi, dipenjarakan, dibunuh untuk semua kebejatan masa lampau, asalkan, anaknya mendapatkan pengakuan.

Dengan tubuh bergetar, Dilan kembali bersimpuh dalam sujud panjang. Kali ini, lelaki itu mencium kaki Suci. Tempat di mana Tuhan meletakkan surga untuk anaknya. Ia melirih, “Aku minta ampun, Ci. Silakan hukum aku. Hancurkan hidup aku sama seperti aku hancurkan hidupmu. Tapi...” Ia berjuang melanjutkan kata dalam amukan tangis,  “Jangan tolak Marvel. Dia... darah daging kita.”

Seperti terprogram, Suci terus menjeritakan kalimat yang sama, “AKU NGGAK PUNYA ANAK! AKU NGGAK PERNAH HAMIL! AKU BUKAN SEORANG IBU!”

Marvel ada karena kebejatan. Dilan tidak lupa soal itu. Tapi, demi nyawanya, Dilan berjanji akan melindungi Marvel dari penghakiman. Tak ada satu pun manusia yang berhak menuding bahwa anaknya adalah simbol kesalahan. Termasuk juga dengan Suci.

Bangkit, Dilan memegang kuat pundak Suci. Dari reaksinya, Dilan tahu bahwa Suci sedang ketakutan. Tubuh wanita itu bergetar seraya menggumam kalimat yang sama.

Mendapati pemandangan itu, tubuh Dilan melemah namun rasa ingin melindungi Suci meroket. Dia coba menarik kedua tangan Suci dari kuping. Ingin bilang bahwa kehadirannya bukan untuk merampas dan merusak. Dia di sini untuk mereparasi apa pun yang ia rusakkan di masa lampau.

“Heiii, Ci.” Dilan berusaha memanggil pulang jiwa Suci. Sekarang, Suci bahkan sudah mencakar wajahnya sendiri. Rambut ia jambak keras. Lalu menghamburkan pukulan di seluruh tubuh yang bisa dijangkau kepalan tangan.

“AKU NGGAK PUNYA ANAK! AKU NGGAK PERNAH HAMIL! AKU BUKAN SEORANG IBU!”

Dilan meredam amukan Suci. Dipeluknya tubuh wanita itu. Nyeri merambat sampai ke pembuluh darah terhalusnya. Mendapati bahwa sentuhan intim pertama mereka ini tercipta saat Suci sedang berusaha mati-matian menampik soal kehadiran anaknya.

“Ciiii...” Hanya itu yang bisa Dilan ucapkan.

Atmaja datang tepat saat orang-orang sudah membentuk kerumunan di depan kamar kost. Dia meminta maaf lalu merangkai beberapa kebohongan kecil untuk meredam penasaran. Lelaki itu menutup pintu setelah berhasil membubarkan kerumunan.

Lembut tapi tegas, Atmaja memisahkan pelukan itu. Ia mengambil alih anaknya. Kali ini Suci bahkan berteriak dan menceracaukan kata-kata tidak jelas. Di depannya, Dilan tampak memucat dan kebingungan. Sumpah mati ingin sekali ia menenangkan Suci, tetapi kapasitasnya di sini tidak ada artinya sama sekali sebab ia-lah yang menyepak kekacauan malam ini.

“Dilan, maaf. Bukan saya usir kamu, tapi, sebaiknya kamu pulang,” perintah Atmaja, halus.

“Suci....”

“Anak saya nggak apa-apa. Sebentar lagi saya minta Tiwi untuk ke sini tenangin dia.”

“Saya....”

“Tolong biarkan Suci tenang dulu. Mohon pengertiannya untuk nggak muncul di hadapan dia selama beberapa bulan ke depan. Sampai segalanya kembali normal.”

Hati Dilan diremas. Ia sampai tak bisa bernapas karena sesak. Dia mendekat, bermaksud untuk memberikan satu kecupan penenang di kening Suci, tapi gelengan dalam senyum Atmaja menginterupsi niat. Lelaki itu mundur selangkah. Kalah. Tertolak.

Cukup lama Dilan diam. Meresapi penolakan ini. Sampai akhirnya ia pamit pulang. Dalam perjalanan, kunci mobil yang Atmaja berikan padanya ia remas hingga kepal tangan mati rasa. Dilan sampai di rumah. Tujuan pertamanya menyambangi kamar Marvel. Bukannya membaik, pemandangan di sana kembali meroketkan sedihnya.

Di sana, Marvel tertidur damai di antara Shabila dan Randara. Dua orang itu bahkan memeluk anaknya dari dua sisi. Mengingatkan Dilan pada potret keluarga bahagia dalam slide wacana masa depan. Seharusnya, tangan kecil Marvel melingkar di perut Suci. Bukan Shabila. Semestinya, tangan Dilan-lah yang melingkar protektif ke tubuh anaknya, bukan tangan Randara yang notabennya hanya orang lain.

Kini, segalanya makin kabur. Dilan tak tahu bagaimana nasib anaknya ke depan. Dalam hening lelaki itu merenung. Langkah putus asanya membawa ia ke kamar mandi, membasuh wajah dengan wudhu.

Dilan menghadap Tuhan-nya. Berkeluh-kesah untuk segala yang terjadi malam ini. Meminta ketenangan untuk Suci, dan kesabaran untuk dirinya sendiri. Di sujud terakhir, laki-laki itu tersengguk-sengguk dalam sedu-sedannya.

Doanya tetap sama. Dari dulu hingga sekarang: luluhnya Suci. Penerimaan untuk Marvel....

 

ImpromptuWhere stories live. Discover now